Banda Aceh (23/5) – Hampir tujuh tahun Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diberlakukan di Indonesia, namun pelaksanaannya masih menemui berbagai kendala. Oleh karena itu, para Aparat Penegak Hukum (APH) Provinsi Aceh sepakat menyamakan persepsi terkait pelaksanaan UU SPPA dan upaya perlindungan dan penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).
“Fakta menunjukkan saat ini masih banyak permasalahan ABH di Provinsi Aceh. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman dan persepsi yang sama sehingga upaya perlindungan dan penanganan terhadap ABH di 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh menjadi sama,” ujar Staf Ahli Gubernur Provinsi Aceh Bidang Pemerintahan, Hukum, dan Politik, Rachmat Fitri dalam Kegiatan Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum (APH) dalam Perlindungan dan Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) di Provinsi Aceh, Kamis (23/5).
Rachmat Fitri mengakui jumlah ABH di Provinsi Aceh cukup tinggi, namun upaya perlindungan terhadap mereka dirasakan belum optimal. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Aceh perlu menghadirkan regulasi sebagai standar dalam upaya melindungi anak yang menyentuh aspek pendidikan, tumbuh kembang anak, dan perlindungan dari berbagai tindakan kekerasan. Peningkatan kapasitas terhadap APH juga sangat dibutuhkan agar mereka memiliki pemahaman yang sama terkait pelaksanaan UU SPPA dan keterampilan yang baik dalam menangani kasus terkait ABH.
Penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Bareskrim Polri, Sri Bhayakari, Jaksa pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung, Erni Mustikasari, dan Hakim Tinggi Makassar, Nirwana yang hadir sebagai narasumber mengakui hal serupa. Mereka mengatakan pelaksanaan UU SPPA masih menemui berbagai kendala di lapangan, misalnya ketidaksamaan persepsi dan keterbatasan sarana prasarana yang memadai sehingga menghambat proses hukum.
Sementara itu, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Hasan menjelaskan ada beberapa permasalahan yang dihadapi dalam penanganan ABH, antara lain:
1) Kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan anak sehingga pemahaman aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penanganan ABH masih bervariasi dan cenderung menggunakan persepsi yang berbeda;
2) Belum semua perkara anak diselesaikan menggunakan pendekatan keadilan restoratif demi kepentingan terbaik bagi anak;
3) Penanganan ABH belum dilakukan secara komprehensif dan terpadu;
4) Penyediaan fasilitas, sarana, dan prasarana belum memadai;
5) Keberadaan lembaga yang menangani ABH belum tersedia.
Oleh karena itu, Hasan menilai kegiatan yang dihadiri oleh APH dari Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan Bapas, Petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), pekerja sosial profesional, dan advokat di Provinsi Aceh ini sangat strategis karena dapat membangun sinergitas dalam penanganan perkara anak antara APH, pihak-pihak terkait maupun masyarakat melalui pendekatan restoratif demi kepentingan terbaik bagi anak.
“Tugas dan fungsi Kemen PPPA adalah mengoordinasikan dan mendorong Kementerian/Lembaga dalam pelaksanaan UU SPPA, mengevaluasi kebijakan terkait perempuan dan anak agar bisa implementatif di masyarakat, serta melaporkan pelaksanaan SPPA kepada Presiden. Kami berharap hasil kegiatan ini dapat menjadi masukan bagi pusat untuk memaksimalisasi pelaksanaan UU SPPA dan meningkatkan upaya perlindungan dan pemenuhan hak ABH yang lebih komprehensif, terpadu, dan sinergis,” tutup Hasan.
Perwakilan APH dari Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, PK Bapas, Petugas LPKA, pekerja sosial profesional, dan advokat di Provinsi Aceh dalam kegiatan Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum dalam Perlindungan dan Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) menyepakati Komitmen Bersama, sebagai berikut:
1. Saling berkoordinasi dan kerja sama dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak berhadapan dengan hukum;
2. Meningkatkan upaya pencegahan agar anak tidak berhadapan dengan hukum;
3. Mengupayakan penyelesaian administrasi perkara anak dilakukan secara online dan terpisah dari orang dewasa;
4. Mengupayakan persamaan persepsi dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak;
5. Memberikan perlindungan terhadap hak ABH dengan memperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa, tidak diperlakukan secara kejam, empati, tidak menyalahkan, serta tidak merendahkan derajat dan martabat ABH;
6. Membantu dan mengupayakan agar ABH terpenuhi hak-haknya, antara lain hak identitas, hak pendidikan, hak kesehatan, kehidupan pribadi, rekreasional atau hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
7. Mengupayakan penyediaan sumber daya manusia, sarana-prasarana dan kelembagaan yang ramah anak dan memadai;
8. Meningkatkan pemahaman mengenai Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak melalui kegiatan sosialisasi dan pelatihan yang tersertifikasi;
9. Mengupayakan agar anak dapat diterima oleh orang tua dan masyarakat serta menghilangkan berbagai pelabelan/stigma bagi ABH;
10. Melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam perlindungan dan pemenuhan hak ABH.
PUBLIKASI DAN MEDIA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510,