Lembaga Agama Dukung Cegah Perkawinan Anak Mulai dari Tempat Ibadah
- Dipublikasikan Pada : Rabu, 21 April 2021
- Dibaca : 4803 Kali

Siaran Pers Nomor: B-109/SETMEN/HM.02.04/04/2021
Jakarta (21/04) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus melakukan upaya advokasi dan sosialisasi pencegahan perkawinan anak bersama stakeholders, mengingat perkawinan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak anak. Salah satunya dengan menyelenggarakan Diskusi Interaktif Pencegahan Perkawinan Anak dalam Pandangan Lintas Agama yang dilakukan secara virtual.
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Agustina Erni menuturkan perkawinan anak termasuk pelanggaran terhadap hak dasar yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA), terutama anak perempuan, dimana anak perempuan merupakan kelompok anak yang lebih rentan terhadap perkawinan anak.
“Presiden telah memberikan arahan kepada Kemen PPPA untuk menangani permasalahan perkawinan anak yang dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Secara tegas RPJMN menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,21% pada tahun 2018 menjadi 8,74% pada akhir tahun 2024. Perkawinan anak pun menjadi Prioritas Nasional yang dimandatkan kepada kami,” ujar Erni.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak, Erni mengatakan salah satu faktornya adalah dari sisi agama. “Agama masih sering dijadikan legitimimasi atau alat pembenaran atas praktik perkawinan anak, dengan dalih menghindari perzinahan, faktor ekonomi si anak, perjodohan, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini kemudian menjadi latar belakang perlu keterlibatan para pemuka agama yang ada Indonesia (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu) untuk berperan aktif bersama dengan umatnya dalam Pencegahan perkawinan anak dan menindaklanjuti kebijakan, isu perkawinan anak dan peran aktif keterlibatan pemuka agama dan jajarannya dalam melakukan pencegahan perkawinan anak,” ujar Erni.
“Kami apresiasi dan berterima kasih kepada para narasumber dari 6 lintas agama yang nantinya bersama anggotanya dari seluruh Indonesia dapat menjadi Agen Pelopor dan Penggerak yang membantu pemerintah dalam upaya penyelamatan anak dari praktik perkawinan anak. Melalui dialog hari ini, kami yakin akan ada perspektif baru yang lebih progresif dan berpihak dalam perlindungan anak khususnya menurunkan angka perkawinan anak, demi mewujudkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing ke depan,” imbuh Erni.
Ketua Bidang Perempuan Remaja dan Keluarga MUI, Prof. Amany Lubis mengatakan gambaran umum tentang pernikahan usia anak di Indonesia dengan segala dampaknya merupakan tantangan dan PR bersama bagi pemerintah dan masyarakat, tidak terkecuali para ulama, baik laki-laki maupun perempuan, yang menjadi rujukan umat dalam berbagai permasalahan. Sinergi antara ulama dan umara dalam mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat perkawinan yang belum istitho’ah melalui Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan untuk Peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia sangatlah penting dan strategis.
“Ulama sangat perlu berperan dalam ikhtiar pendewasaan usia perkawinan melalui pendidikan dan dakwah kepada masyarakat, khususnya orang tua dan anak-anak yang rentan menjadi korban perkawinan usia anak lantaran berbagai sebab. Sebagai penerus para nabi, dalam melakukan pendidikan dan dakwah para ulama -laki-laki dan perempuan- perlu mengenali penyebab dan akar masalah dari masalah perkawinan usia anak ini, sehingga solusi pencegahan dilakukan sesuai dengan masalahnya. Sekedar contoh, perkawinan usia anak yang disebabkan oleh pergaulan bebas tentu perlu dicegah dengan penanaman nilai-nilai agama, pengendalian diri dan akhlak mulia yang diterapkan dalam kehidupan di keluarga, lembaga pendidikan, maupun masyarakat. Perkawinan usia anak yang disebabkan oleh kemiskinan keluarga perlu dicegah dengan edukasi bagi orang tua untuk tidak menjadikan kemiskinan sebagai alasan mengawinkan anak karena itu justru berpotensi melestarikan kemiskinan dan menurunkan kualitas genarasi,” ujar Amany.
Dari lembaga agama katholik, Sekretaris Eksekutif Komisi Keluarga KWI, RD Yoh Aristanto HS menuturkan setiap agama atau lembaga agama mempunyai cara pandang yang berbeda mengenai perkawinan dan batas usia untuk menikah– namun mempunyai tujuan yang sama yaitu kebaikan dari pasangan yang menikah dan keluarga yang dibangun.
“Perlu di bangun sebuah pemahaman bahwa perkawinan tidak hanya realitas hukum, yang lebih utama adalah panggilan orang beriman untuk “membentuk ikatan perjanjian perkawinan” yang satu dan selamanya, hukum memberikan validitas dan tata tertib hidup gereja secara minimal, dan kebaikan hidup suami isteri itu merupakan tujuan final perkawinan, karena kebaikan suami-isteri itu adalah dasar kebaikan hidup menggereja dan bermasyarakat. Ketentuan hukum mengenai batas usia untuk menikah tidak menjadi satu-satunya cara untuk mencegah perkawinan anak. Terdapat peran dari lembaga agam tentang pentingnya hidup perkawinan yang dipersiapkan dengan baik – demi kebaikan suami isteri - keluarga yang dibentuk dan meningkatkan peran orang tua dalam mengambil keputusan untuk menikahkan anak-anak di bawah usia minimal,” ujar RD Yoh Aristanto.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Rohaniwan/Pengurus Pusat MATAKIN, XS Budi S Tanuwibowo mengungkapkan dalam agama khonghucu pernikahan adalah pangkal peradaban manusia sehingga pernikahan dilakukan dilakukan bagi pasangan yang telah dewasa/siap karena akan mempengaruhi generasi yang dihasilkan, tentu anak yang dihasilkan dari orang tua yang memang telah dewasa/siap secara fisik, mental bahkan ekonomi akan lebih mampu mengatasi tantangan zaman yang selalu berubah. “Kedua mempelai juga tidak boleh terlalu muda, karena belum siap fisik dan mentalnya. Apalagi secara ekonomi belum mampu mandiri sehingga akan menimbulkan berbagai permasalahan dan berpotensi menyebabkan perceraian/gagalnya pernikahan. Sebaliknya mempelai yang sudah cukup umur/dewasa akan lebih mampu mengatasi permasalahan pernikahan,” ujar Budi.
Lebih lanjut, Biro Perempuan dan Anak Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Ridayani perlindungan anak merupakan bagian dari Tritugas gereja dan melekat pada jati dirinya. Selain itu, gereja juga berfungsi untuk mengoptimalkan perlindungan anak melalui pelayanan gereja sebagai wujud kontribusi menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak.
“Begitu pun dengan PGI secara tegas menolak batas usia pernikahan 16 tahun bagi perempuan dalam pasal 7 ayat 1 tentang perkawinan karena selain mengancam kematian ibu. Saat ini gereja-gereja di Indonesia tidak lagi melakukan pemberkatan nikah bagi anak-anak di bawah 19 tahun. Beberapa advokasi yang dilakukan PGI terhadap gereja yakni pelatihan pendidikan kesehatan reproduksi, sosialisasi tentang kesetaraan gender, sosialisasi konvensi hak anak, sosialisasi undang-undang perlindungan anak, sosialisasi buku panduan pra-nikah bagi pelayan dan warga gereja, dan sosialisasi melalui webinar,” uajr Ridayani.
Senada dengan seluruh narasumber sebelumnya, Ketua Wanita WALUBI Jakarta, Wie Lie menuturkan perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami– istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma. “Sebagai umat Buddha maka agar kita bisa membentuk keluarga bahagia, kita harus mengikuti ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Dalam Samajivi Sutta, Sang Buddha telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras dan seimbang, yaitu bila suami– istri itu terdapat persamaan atau persesuaian dalam Saddha. Maka dari itu, perkawinan anak di bawah umur menjadi suatu masalah yang harus kita kurangi bahkan dihentikan karena sudah tidak sesuai kaidah berumah tangga yang sehat, harmonis, dan sejahtera. Adapun program-program WALUBI untuk mencegah perkawinan anak dengan melakukan konseling pra nikah, mengadakan retreat anak muda (meditasi, motivasi, Buddha), dan membuat poster ajakan mencegah perkawinan anak,” ujar Wie Lie. Prinsipnya nilai - nilai agama tidak menganjurkan adanya perkawinan anak karena ajan melahirkan generasi yang lemah dan tidak berkualitas, untuk itu perlu sinergi pemerintah dan lembaga keagamaan dengan menyatukan langkah Gerakan Bersama penyadaran masyarakat Pencegahan Perkawinan anak, pungkas Rohika Kurniadi Sari, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan dan Lingkungan.
BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id
Terbaru
KemenPPPA Beri Bantuan Spesifik Kepada Perempuan Korban TPPO dari Irak ( 104 )
Pranala Luar





Publikasi Lainya
KemenPPPA Beri Bantuan Spesifik Kepada Perempuan Korban TPPO dari Irak ( 104 )
Jakarta (3/6) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) memberikan paket bantuan kebutuhan spesifik kepada perempuan korban Tindak Pidana…
KemenPPPA Kecam Kasus Pelecehan Seksual Oleh Kepsek dan Guru Madrasah Di Wonogiri ( 151 )
Jakarta (2/6) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Kepala Sekolah (M) dan…
Jakarta (1/6) – Dalam upaya mempercepat Provinsi Kalimantan Selatan menjadi Provinsi Layak Anak (Provila), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak…
Jakarta (1/6) – Upaya mempercepat Provinsi/Kabupaten/Kota Layak Anak, salah satunya dilakukan di Provinsi Bali. Dalam rangka percepatan tersebut, Kementerian Pemberdayaan…
Jakarta (1/6) – Dalam rangka percepatan Provinsi Layak Anak, pemenuhan target RPJMN 2024, dan target rencana strategis, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan…