Cegah “Penculikan Anak”, KemenPPPA Dorong Peraturan Hak Asuh Anak Skala Nasional dan Lintas Negara

  • Dipublikasikan Pada : Selasa, 05 April 2022
  • Dibaca : 3000 Kali

Siaran Pers Nomor: B- 200/SETMEN/HM.02.04/04/2022

 

Jakarta (5/3) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menilai sangat perlu penguatan peraturan terkait hak asuh anak pada skala nasional dan lintas negara. Peraturan itu untuk mencegah terjadinya perebutan hak asuh anak yang dapat merugikan kepentingan anak tersebut.

 

Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan bahwa peraturan terkait hak asuh anak pada skala nasional dan lintas negara merupakan upaya untuk melindungi anak dari penelantaran, perlakuan salah dan “penculikan anak” akibat perebutan hak asuh anak yang orang tuanya bercerai. 

 

“Sebagai upaya layanan efisien, tuntas, menyeluruh, demi kepentingan terbaik anak dan pencegahan “penculikan anak”, KemenPPPA mendorong penguatan peraturan nasional dan aksesi “The Hague Convention 1980”, terkait pengaturan perebutan hak asuh anak pada skala nasional dan lintas negara,” kata, Pribudiarta Nur Sitepu, Senin, (04/04/2022). 

 

Pada “Forum Koordinasi Antar Kementerian/Lembaga terkait Penanganan Perebutan Hak Asuh Anak pada skala Nasional dan lintas Negara” yang diselenggarakan, 29–30 Maret 2022 yang diselenggarakan oleh KemenPPPA, dengan menghadirkan sejumlah pakar menilai perlu untuk menjamin pemenuhan hak anak terkait hak asuh melalui aturan hukum.

 

Pemenuhan hak asuh semakin dipandang perlu mengingat banyak kasus perceraian yang menyebabkan terjadi perebutan hak asuh. Dalam perceraian seringkali kali tidak ada ketentuan mengenai hak kunjung, padahal hal ini kerap menyebabkan terjadinya “penculikan anak” oleh salah satu orang tua pasangan bercerai. 

 

KemenPPPA melalui SAPA 129 yang diluncurkan sejak Maret 2021 telah mendapatkan 20 laporan dari masyarakat terkait kasus perebutan hak asuh anak, baik skala nasional maupun lintas negara. Dalam laporan yang ditangani petugas layanan SAPA 129 Kemen PPPA, terdapat perlakukan salah dan penelantaran anak oleh salah satu orangtuanya. 

 

“Itu sebabnya hak asuh ini menjadi perhatian KemenPPPA, bahkan mungkin banyak lain yang belum terungkap. Negara wajib menjamin hubungan antara orangtua dan anak tetap terjaga dan menjamin hubungan langsung yang teratur diantara mereka tetap terjaga, kecuali kepentingan terbaik anak menentukan lain,” kata Pribudiarta. 

 

Pada UU 35/2016 tentang Perlindungan Anak, Pasal 14 menyatakan: “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”. 

 

“Penjelasan pasal 14 menyatakan: “Pemisahan yang dimaksud, tidak menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya”, kata Pribuadiarta.

 

Asisten Deputi Pelayanan Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus Kemen PPPA, Robert Parlindungan Sitinjak, menyatakan perlu peraturan tentang “hak kunjung” bagi pasangan yang bercerai, karena perkara membawa anak tanpa alas hak oleh orang tua kandung, tidak dapat dipidana penjara. Namun, jika pelakunya adalah orang lain, yang tidak memiliki hubungan darah dan punya hak asuh yang sah, membawa seorang anak tanpa hak yang sah, maka bagi pelaku tersebut dapat dikenakan tindak pidana penculikan anak, atau penyekapan anak, atau penyanderaan anak sesuai Pasal 328, 329, 330, 331, 333 KUHP.

 

Robert menjelaskan pada, 5 September 1990, Indonesia telah meratifikasi The Convention on the Rights of the Child (CRC) atau Konvensi Hak Anak, melalui Keppres 36/1990 pada Pasal 9 menyatakan, negara harus menjamin bahwa anak tidak dipisahkan dari kedua orang tuanya dengan paksa, kecuali dengan putusan pengadilan yang kompeten memutuskan lain dengan pertimbangan, bahwa pemisahan itu memang diperlukan bagi kepentingan terbaik anak, terutama ketika terjadi penelantaran atau kekerasan oleh orang tua, maka pemisahan anak dapat dilakukan dalam hal penentukan tempat kediaman anak. 

 

“Peran KemenPPPA memberikan layanan anak Indonesia yang memerlukan perlindungan khusus dari kekerasan fisik dan mental, perlakuan salah dan penelantaran anak akibat perebutan hak asuh anak, amanah Pasal 76B UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak,” ujar Robert. 

 

Sampai saat ini, belum ada kebijakan dan lembaga yang diberi mandat untuk mengawasi eksekusi atas putusan peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) terkait dengan pemberian hak asuh anak pada salah satu orangtua kandung (ayah/ibu) pada skala nasional.  

 

Demikian juga, perebutan hak asuh anak pada lintas negara, The Hague Convention on Private International Law telah menghasilkan konvensi The Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction Tahun 1980. Sampai saat ini, konvensi ini ditandatangani oleh 101 negara, namun Indonesia belum mengaksesi konvensi ini dan sedang dalam pembahasan oleh Direktorat OPHI, Ditjen AHU pada Kemenkumham. 

 

Tujuan “The Hague Convention 1980” adalah menjamin anak yang dilarikan atau ditahan tanpa hak dapat dikembalikan ke tempat tinggal sehari-hari (“habitual residence”) sebelumnya, dan memastikan putusan atas hak asuh dan hak kunjung atas anak dihormati di antara negara-negara anggota. Sebaiknya Indonesia ikut terlibat di konvensi tersebut.  

 

“KemenPPPA menilai perlu ada Kementerian/Lembaga untuk menentukan, bagaimanakah hak kunjung diatur, apakah pemerintah melakukan aksesi konvensi Hague 1980 dahulu, lalu perbaiki aturan nasional kemudian, ataukah perbaiki aturan nasional dahulu, lalu aksesi konvensi Hague 1980 kemudian? Ke depan, diharapkan tidak ada lagi kasus penculikan anak yang pelakunya orangtua kandung. Perebutan hak asuh anak diselesaikan melalui mediasi hukum perdata nasonal atau hukum/konvensi internasional,” ujar Robert.


Kepentingan Terbaik Anak


Forum juga menghadirkan pakar dan pejabat lintas kementerian untuk membahas kasus ini. Judha Nugraha, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, menyatakan perkawinan campuran lintas negara perlu solusi, langkah ke depan. Meski demikian aksesi The Hague Convention 1980 dinilai belum terlalu mendesak. Indonesia perlu fokus pada langkah penanganan kasus hukum menurut hukum Indonesia dan hukum negara setempat.

 

Pendapat berbeda disampaikan Tiuma M. Pitta Allagan, Ph.D, Dosen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (anggota APPIHPI) yang justru menghimbau pemerintah Indonesia untuk mengaksesi The Hague Convention 1980 untuk mengatasi pengambilan anak yang melewati lintas batas negara. 

 

“Indonesia dapat memakai pengecualian (reservation) untuk aturan yang kurang sesuai dengan aturan domestik Indonesia. Perlu juga diatur mengenai Hak Kunjung (hak mengunjungi anak) bagi pasangan yang telah bercerai. Jika tidak dapat dijalankan dengan sukarela, maka pemerintah melalui KemenPPPA bersama UPTD PPA Prov/Kab/Kota dapat berikan layanan pendampingan anak bagi orang tua selama kunjungan di tempat yang netral, demi kepentingan terbaik anak. Peraturan nasional yang dibuat haruslah memperhatikan prinsip ini, prinsip yang telah diterima dalam ranah Hukum Perdata Internasional dan di banyak negara,” kata Tiurma.

 

Dorongan untuk mengakses The Hague Convention 1980 juga disampaikan Rinawati Prihatiningsih, Ketua KPC Melati (Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu), Disebutnya, negara membuat ketentuan hukum yang komprehensif untuk anak dan keluarga, karena tidak sedikit perkawinan campuran yang mengalami perceraian yang dalam penanganannya melibatkan perwakilan KBRI.

 

Patricia Rinwigati, Ph.D. Dosen Hukum Pidana, HAM, Gender dan Direktur Djokosoetono Reseach Center pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan Indonesia perlu melakukan penguatan regulasi yang ada, baik administrasi maupun infrastruktur. Selain itu diperlukan sosialisasi hukum perkawinan campuran bagi calon pasangan perkawinan campuran baik tentang putusan perkawinan maupun  regulasi negara calon pasangannya. Perlu koordinasi dan kerjasama lintas kementrian/lembaga mengatasi masalah tersebut.

 

 

BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN 
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id

Publikasi Lainya

Siaran Pers, Selasa, 30 Mei 2023

Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Siap Meningkatkan Layanan Kualitas Hidup Anak untuk Mendorong Percepatan KLA dan Provila ( 50 )

Medan (30/5) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pengembangan Layananan Kualitas Hidup Anak di…

Pengumuman, Selasa, 30 Mei 2023

PENGUMUMAN Nomor: P. 16/Setmen.Birosdmu/KP.05.01/5/2023 TENTANG PERUBAHAN JADWAL TAHAPAN SELEKSI TERBUKA PENGISIAN JABATAN PIMPINAN TINGGI PRATAMA DI LINGKUNGAN Kemen PPPA TAHUN 2023 ( 200 )

Pengumuman Nomor: P. 16/Setmen.Birosdmu/KP.05.01/5/2023 TENTANG PERUBAHAN JADWAL TAHAPAN SELEKSI TERBUKA PENGISIAN JABATAN PIMPINAN TINGGI PRATAMA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN…

Siaran Pers, Senin, 29 Mei 2023

Kemen PPPA Ajak Orang Tua dan Satuan Pendidikan Edukasi Kesehatan Reproduksi bagi Anak ( 69 )

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengajak semua pihak, terutama orang tua dan satuan pendidikan untuk memberikan edukasi kesehatan…

Siaran Pers, Minggu, 28 Mei 2023

KemenPPPA Gerak Cepat dalam Penyusunan Peraturan Pelaksana UU TPKS ( 154 )

Jakarta (28/5) – Kementerian Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), bersama dengan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, terus bergerak cepat dalam melakukan…

Siaran Pers, Jumat, 26 Mei 2023

DRPPA Langkah Percepatan Menuju KLA, KemenPPPA dan DP3AP2KB Kota Depok Berbagi Praktik Baik ( 202 )

Depok (26/5) – Inisiasi membawa pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak ke desa telah diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan…