Keputusan : Keadilan untuk Perempuan Korban

  • Dipublikasikan Pada : Selasa, 23 Februari 2016
  • Dibaca : 8726 Kali

Konsep dan praktik keadilan sering kali lebih dilekatkan pada proses hukum formal, yaitu pengadilan di mana pencari keadilan seolah hanya memiliki satu cara: membawa kasus ke pengadilan, menyerahkan kepada aparat hukum yang akan mengambil keputusan terhadap proses, dan sampai pada keputusan.

Prinsip yang dipakai netralitas dan obyektivitas karena asumsinya didasarkan pada asumsi hukum yang netral sehingga keadilan pun harus ditimbang secara netral dan obyektif. Pendekatan ini sering kali disebut sebagai pendekatan retributive; penyelesaian kasus dengan penghukuman si pelaku.

Ada beberapa persoalan dengan pendekatan yang demikian, sementara ada banyak persoalan di dalam sistem hukum itu ditinjau dari pengalaman perempuan korban para pencari keadilan.

Dari banyak pengalaman perempuan di Indonesia yang pernah bersentuhan dengan sistem hukum ditemukan, proses peradilan sering kali menimbulkan kepahitan lebih dari ketika mereka menjadi korban kekerasan.

Bukan saja karena putusan peradilan jauh dari memuaskan, tetapi juga proses menuju putusan itu merupakan proses yang tidak menyenangkan. Alhasil, perempuan korban merasa apatis dan kecewa terhadap sistem hukum yang tersedia.

Penyebabnya, struktur hukum yang ada, yaitu aparat penegak hukum yang tidak berkemampuan, tidak sensitif, tidak bertujuan memberi pelayanan kepada pencari keadilan, dan cenderung berpatok pada hukum formal tanpa inisiatif. Juga karena secara substansi, aturan dan mekanisme yang dibangun memang jauh dari pengalaman dan kebutuhan perempuan.

Ketidakmampuan penegak hukum bisa karena proses pendidikan dan penguatan kapasitas yang tidak memadai, pengetahuan akan perkembangan hukum dan situasi sosial yang tidak merata, fasilitas kerja yang tidak layak, maupun karena sistem dan proses pemantauan yang lemah.

Sementara aturan yang dibangun sering kali didasarkan pada adagium \"setiap orang sama di depan hukum\" dan kemudian abai terhadap situasi perempuan. Akibatnya, \"kesamaan\" itu kemudian meletakkan perempuan dalam kondisi tidak menguntungkan ketika berhadapan dengan sistem hukum. Sama dan setara di hadapan hukum menjadi tidak berarti ketika perempuan yang karena konstruksi sosial menjadi terbatas dalam mengakses keadilan dibandingkan dengan laki-laki.

Pengalaman perempuan

Data yang masuk ke Komnas Perempuan pada tahun 2006 memperlihatkan, ada 3.510 kasus (59 persen) yang dilaporkan ke Komnas, di mana korban membawa kasus ke pengadilan agama. Dari catatan para pendamping korban, lebih banyak korban tidak membawa kasus ke pengadilan. Mereka memilih membawa kasus tersebut ke cara penyelesaian lain di luar hukum atau mendiamkan kasus.

Selain karena mereka tidak tahu hukum, penyebab hal di atas juga karena mereka tidak yakin sistem hukum akan memberi apa yang mereka harapkan. Dengan membawa kasus ke pihak lain, seperti ke tokoh masyarakat atau adat atau proses sosial lain, perempuan korban berharap proses tersebut justru akan menyelesaikan masalah mereka.

Pengetahuan di atas memperlihatkan, proses formal bukan cara yang efektif, bahkan dapat dikatakan gagal. Karena itu, pertanyaannya, apa sesungguhnya yang dimaknai perempuan sebagai keadilan.

Pemahaman baru

Situasi demikian membawa pada pemahaman dan pendekatan baru bahwa penghukuman terhadap pelaku hanya salah satu dari kebutuhan pencapaian rasa keadilan korban.

Ada banyak aspek yang dibutuhkan selain penghukuman pelaku, yaitu pemulihan kondisi korban. Oleh karena itu, pendukung restorative justice mendorong adanya mekanisme di luar peradilan dalam penyelesaian kasus kejahatan dan kekerasan. Mekanisme di luar pengadilan diharapkan lebih memungkinkan korban berperan dalam menyelesaikan proses kasusnya (Galaway and Hudson: 2002).

Hal ini berbeda dengan pendekatan retributive yang tekanan seluruh proses dilekatkan pada pelaku, sementara korban tidak jadi bagian dari proses tersebut.

Agaknya, dalam skala kecil, inisiatif yang dilakukan beberapa komunitas di Indonesia seperti yang diorganisir paralegal Urban Poor Consortium dan Perempuan Kepala Keluarga untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga memiliki pendekatan serupa.

Meski begitu, pada kasus berbeda mekanisme penyelesaian di luar pengadilan ternyata belum tentu juga akan menjawab rasa keadilan perempuan korban. Contohnya, Komnas Perempuan tahun 2006 mencatat, khususnya di daerah konflik seperti Aceh dan Poso, mekanisme di komunitas dan adat malah digunakan pelaku kekerasan agar lepas dari jeratan hukum. Pihak yang dipandang korban bisa memberi perlindungan, seperti tokoh agama dan tokoh masyarakat, ternyata belum berpihak kepada korban, bahkan menjadi pelaku kekerasan baru terhadap mereka.

Dengan demikian, harus disadari, baik mekanisme hukum maupun mekanisme sosial sama potensialnya menambah kerentanan perempuan korban. Oleh karena itu, perlu ada upaya sungguh-sungguh berbagai pihak untuk mulai memaknai ulang makna keadilan dari kacamata perempuan korban.

Perlu pula mengidentifikasi mekanisme yang relevan dibangun agar tuntutan korban terhadap keadilan terpenuhi. Semakin banyak mekanisme yang tersedia akan memberi lebih banyak pilihan bagi korban apa yang ia ingin jalani.

Publikasi Lainya

Siaran Pers, Minggu, 28 Mei 2023

KemenPPPA Gerak Cepat dalam Penyusunan Peraturan Pelaksana UU TPKS ( 104 )

Jakarta (28/5) – Kementerian Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), bersama dengan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, terus bergerak cepat dalam melakukan…

Siaran Pers, Jumat, 26 Mei 2023

DRPPA Langkah Percepatan Menuju KLA, KemenPPPA dan DP3AP2KB Kota Depok Berbagi Praktik Baik ( 172 )

Depok (26/5) – Inisiasi membawa pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak ke desa telah diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan…

Siaran Pers, Kamis, 25 Mei 2023

KemenPPPA Gagas Dare to Speak Up Sebagai Inovasi Keterbukaan Informasi Publik ( 174 )

Depok (25/5) – Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak…

Pengumuman, Kamis, 25 Mei 2023

PENGUMUMAN Nomor: P. 15 /Setmen.Birosdmu/KP.03.01/5/2023 TENTANG HASIL KELULUSAN PASCA SANGGAH PENGADAAN PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA (PPPK) TENAGATEKNIS DI LINGKUNGAN Kemen PPPA TAHUN ANGGARAN 2022 ( 1119 )

PENGUMUMAN Nomor: P. 15 /Setmen.Birosdmu/KP.03.01/5/2023 TENTANG HASIL KELULUSAN PASCA SANGGAH PENGADAAN PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA (PPPK) TENAGATEKNIS DI LINGKUNGAN…

Pengumuman, Jumat, 26 Mei 2023

Pedoman Pelaksanaan Hari Anak Nasional Tahun 2023 ( 405 )

Pedoman pelaksanaan Hari Anak Nasional tahun 2023