
It’s Okay Not to Be Okay, Wamen PPPA Serukan Peka Isu Kesehatan Mental pada Generasi Muda
Siaran Pers Nomor: B-486/SETMEN/HM.02.04/12/2025
Semarang (3/12) – Kesehatan mental pada generasi muda harus menjadi isu bersama yang ditangani secara serius oleh seluruh elemen bangsa. Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan menyampaikan perubahan zaman dan percepatan teknologi menuntut cara komunikasi yang lebih peka antara orang tua, pendidik, dan generasi muda. Orang tua dan pendidik perlu mengajak anak-anak berbicara dengan bahasa yang relevan dengan dunia mereka.
“Kita harus berkomunikasi dengan anak sesuai usia mereka. Menanyakan apa yang mereka rasakan dan alami sehari-hari di sekolah atau hubungan dengan teman-temannya. Dari topik itu kita bisa menggali dan melihat dari ‘sepatu’ mereka. Komunikasi sangat penting agar mereka mengutarakan isi hatinya. Kuncinya, mengenal sosok orang terdekat kita dan membangun komunikasi yang baik,” ujar Wamen PPPA di hadapan ratusan mahasiswa dalam acara Indonesia Punya Kamu, Selasa (2/12) di Muladi Dome Universitas Diponegoro, Semarang.
Wamen PPPA menyoroti pola komunikasi tradisional yang dulu digunakan orang tua tidak lagi efektif di era digital. Perbedaan generasi membuat anak-anak kini jauh lebih kritis, lebih cepat menerima informasi, dan sering kali berdebat menggunakan referensi digital.
“Ketika kita berdebat atau adu argumen, mereka anak-anak sekarang pakai kata-kata dari searching di Google untuk debat balik. Artinya kita juga harus membangun komunikasi, berbicara sesuai umur mereka agar mereka mengerti,” jelas Wamen PPPA.
‘It’s Okay Not to Be Okay’ disebut Wamen PPPA sebagai pesan penting untuk menghapus stigma emosional yang masih melekat di masyarakat. Menurutnya, baik laki-laki maupun perempuan berhak merasakan emosi tanpa harus ditahan oleh stigma atau standar sosial.
“Kadang saat sedih perasaan itu ditekan, pokoknya harus kelihatan kuat. Dulu anak laki-laki tidak boleh nangis. Padahal semua orang punya hak yang sama, punya kebebasan yang sama. Baik laki-laki atau perempuan bisa mengutarakan, kalau sedang sedih ya kita boleh menangis. Itulah sebenarnya makna it’s okay not to be okay,” tegas Wamen PPPA.
Wamen PPPA juga menyoroti tantangan yang dihadapi generasi muda di era digital, termasuk fenomena catfishing, grooming, dan risiko dari penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI). Wamen PPPA menyebut AI sebagai “pedang bermata dua” yang bisa membantu pembelajaran, tetapi juga berpotensi menguasai pola pikir anak muda apabila tidak digunakan dengan bijak.
“AI ini juga menjadi pedang bermata dua terutama bagi generasi muda yang banyak menggunakan. Apakah kita menggunakan AI untuk melakukan kebaikan dan membuat ilmu yang bertambah demi untuk membangun Indonesia atau kita menjadi hambanya AI? Kita selalu punya pilihan dan kita boleh memilih,” tambah Wamen PPPA.
Terkait kolaborasi pemerintah pusat dan daerah, Wamen PPPA menegaskan komunikasi saat ini jauh lebih mudah dan cepat, sehingga sinergi dalam menangani isu kesehatan mental seharusnya tidak lagi menjadi kendala. Wamen PPPA menyebut seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, akademisi, media, dan NGO, Lembaga Masyarakat, perlu berjalan bersama melalui pendekatan pentahelix.
“Yang paling penting adalah apakah isu kesehatan mental ini diakui bersama. Artinya saya yakin bukan cuma nasional saja, secara dunia juga internasional mereka juga melihat kondisi di zaman digital ini apalagi pasca pandemi, kesehatan mental ini menjadi sebuah isu yang penting. Implementasinya balik lagi, kita berkolaborasi untuk mencari solusi,” pungkas Wamen PPPA
Wamen PPPA menekankan langkah-langkah konkret yang harus terus didorong meliputi pembentukan satgas di sekolah dan kampus, ruang ramah anak dan ruang aman, edukasi positif untuk mencegah bullying dan mengurangi stigma, serta bersama-sama dalam kolaborasi dan koordinasi yang lebih baik.
Sejalan dengan pesan Wamen PPPA, Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng yang turut hadir menjadi narasumber “Indonesia Punya Kamu” menuturkan saat ini kemampuan anak muda untuk mengelola dan memilih informasi yang benar-benar bermanfaat menjadi semakin penting.
Kita harus memilih informasi yang lebih menguntungkan kita, maka anak-anak memang anak-anak muda kita ini memang harus selektif. Anak-anak muda saat ini memiliki kepekaan sosial yang sangat tinggi. Meski tidak berkaitan langsung dengan dirinya, mereka mudah terbawa emosi atau merasa turut terdampak ketika melihat peristiwa negatif yang menimpa sesamanya. Sensitivitas ini, jika tidak diimbangi ketahanan mental dan kemampuan memilah informasi, dapat menimbulkan tekanan emosional yang tidak perlu,” tutur Agustina Wilujeng.
Oleh karena itu, Agustina menyebut Pemerintah Kota Semarang menyiapkan berbagai program untuk memperkuat literasi dan ketangguhan mental generasi muda. Wali Kota menegaskan anak-anak muda Semarang memiliki banyak pilihan untuk menyalurkan energi positif dan mengembangkan potensinya melalui berbagai kegiatan yang telah disediakan.
“Stigma terhadap kesehatan mental masih menjadi hambatan utama. Itu yang menjadi tantangan kita. Karenanya, Pemerintah Kota atau Pemkot Semarang hadir sebagai pendengar dan pelindung, siap mendampingi anak muda menata masa depan,” ujar Agustina Wilujeng.
Berbagai langkah cepat dilakukan Pemerintah Kota Semarang dengan menempatkan kesehatan mental sebagai prioritas. Upaya ini mencakup penyediaan layanan konseling free dan private (gratis dan privat), layanan di PUSPAGA, Puskesmas, dan Rumah Sakit, hingga kolaborasi strategis dengan Fakultas Psikologi Undip dan Unika serta klinik psikologi lain untuk mempercepat penanganan.
BIRO HUMAS DAN UMUM
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id
- 03-12-2025
- Kunjungan : 55
-
Bagikan: