Kolaborasi Berkelanjutan Lintas Sektor dan Regional, Kunci Atasi Kasus Kekerasan terhadap Anak
Siaran Pers Nomor: B-002/SETMEN/HM.02.04/1/2024
Jakarta (6/1) – Sepanjang 2023, Indonesia diterpa berbagai berita terkait kasus kekerasan terhadap anak. Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar mengemukakan besarnya angka kasus kekerasan terhadap anak menjadi tantangan luar biasa yang perlu diatasi secara komprehensif, baik kekerasan kontak maupun nonkontak di ranah luring dan daring.
“Berbagai macam bentuk kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia menjadi tantangan bagi kami di Kemen PPPA maupun pihak-pihak terkait lainnya. Apalagi kini, tidak hanya terjadi di ranah luring semata karena tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ranah daring pun menjadi salah satu medium kekerasan pada anak mulai dari perundungan hingga kekerasan seksual. Tantangan ini pun semakin diperkuat dengan tuntutan kebutuhan anak untuk melakukan berbagai aktivitasnya di ranah daring,” ungkap Nahar dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (6/1).
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) tercatat pada rentang Januari hingga November 2023 terdapat 15.120 kasus kekerasan terhadap anak dengan 12.158 korban anak perempuan dan 4.691 korban anak laki-laki dimana kasus kekerasan seksual menempati urutan pertama dari jumlah korban terbanyak sejak tahun 2019 sampai tahun 2023.
Nahar menekankan perlindungan terhadap anak di ranah daring dan digital perlu menjadi atensi bersama dengan kemudahan akses yang didapatkan tanpa pengawasan sehingga menimbulkan berbagai konsekuensi dan anak rentan menjadi korban kejahatan online. Bentuk-bentuk kejahatan online yang mengintai anak seperti cyberbullying, sextortion, scam, hoax, child grooming, pornografi, hingga eksplotasi dan pelecehan seksual anak daring (OCSEA) menjadi permasalahan global dan regional yang penanganan dan pemberantasannya pun membutuhkan kolaborasi multipihak.
“OCSEA atau Online Child, Sexual, Exploitation, and Abuse merupakan suatu bentuk kekerasan terhadap anak yang mengacu pada situasi yang melibatkan teknologi digital dan internet dan dapat terjadi sepenuhnya secara daring ataupun melalui campuran interaksi daring dan tatap muka antara pelaku dan korban anak-anak. Dengan kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi digital menyebabkan tidak sedikit anak di Indonesia yang terjerat dan menjadi sasaran ekploitasi dan kekerasan seksual di ranah daring,” tutur Nahar.
Nahar menjelaskan dalam upaya memastikan dan menghadirkan perlindungan anak di ranah daring dan digital secara global, negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) bersama-sama berkomitmen dan menyepakati langkah strategis melalui ASEAN Regional Dialogue on Children Online Protection dengan menghasilkan 10 (sepuluh) rekomendasi sebagai berikut:
1. Pendidikan dan pelatihan bagi anak, guru, pengasuh, dan pejabat pemerintah mengenai perlindungan onlineanak dengan mengembangkan materi pelatihan untuk anak oleh anak, membuat modul pelatihan keselamatan online untuk anak di sekolah, dan mengembangkan materi pelatihan untuk pengasuh;
2. Meningkatkan pencegahan anti-perundungan siber dengan mengintegrasikannya ke dalam kegiatan berbasis sekolah dan komunitas;
3. Memperkuat sistem perlindungan anak dengan memastikan layanan yang dapat diakses dan standar untuk pencegahan dan respons serta penegakan hukum yang ketat termasuk membangun kapasitas penyelidik;
4. Memperkuat peraturan dan implementasinya dengan meninjau dan memperbarui undang-undang, peraturan, dan kebijakan terkait yang ada berdasarkan bukti-bukti;
5. Mendukung advokasi termasuk memperkuat partisipasi anak untuk melaksanakan Komentar Umum PBB Nomor 25 tentang hak-hak anak terkait dengan lingkungan digital (2021);
6. Memastikan partisipasi anak dalam menciptakan lingkungan dan gaya hidup digital yang aman melalui dialog dan materi yang ramah anak, mendukung aktivis muda untuk merancang dan menyampaikan kampanye publik untuk perubahan sosial dan lingkungan, memastikan saluran bantuan yang ramah anak dan dapat diakses untuk melaporkan pelecehan dan eksploitasi anak secara daring maupun luring;
7. Meningkatkan penelitian yang berpusat pada anak mengenai kekerasan online terhadap anak, pengamanan digital antara lain untuk anak-anak yang bermigrasi dan pengungsi, serta anak-anak penyandang disabilitas;
8. Mengadopsi pedoman penerapan teknologi yang bertanggung jawab untuk memastikan keselamatan anak-anak saat online dan menciptakan platform digital baru yang ramah anak dan dapat diakses untuk perlindungan anak online;
9. Membentuk komunitas untuk mengadakan koordinasi dan dialog regional untuk menyatukan Badan-Badan Sektoral ASEAN, pemerintah, badan-badan PBB, masyarakat sipil, penegak hukum, sektor swasta, akademisi dan anak-anak sendiri yang bekerja di berbagai negara anggota ASEAN Member States (AMS) untuk mempromosikan standar minimum, berbagi peraturan/kebijakan, dan praktik baik yang memastikan keselamatan anak-anak di lingkungan online sejalan dengan Deklarasi Perlindungan Anak dari Segala Bentuk Pelecehan dan Eksploitasi Online serta The Regional Plan of Action for Protection of Children from All Forms of Online Exploitation and Abuse in ASEAN (RPA on COEA); dan
10. Memastikan Visi Komunitas ASEAN 2045 akan meneladani hak-hak anak, termasuk Conference of the Parties(COP) yang berpedoman pada zero toleransi ASEAN terhadap segala bentuk kekerasan terhadap anak.
Lebih lanjut, Nahar mengungkapkan sebagai upaya perlindungan anak dari kekerasan secara general baik di ranah luring maupun daring, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai langkah pencegahan dan penanganan yang komprehensif dengan melibatkan berbagai sektor terkait.
“Komitmen Pemerintah Indonesia dalam memastikan perlindungan anak dari kekerasan dilakukan melalui berbagai bentuk strategi seperti dengan penetapan Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKTA) yang merumuskan arah kebijakan, strategi, fokus strategi, intervensi kunci, target, peran, dan tanggung jawab Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, hingga masyarakat untuk mewujudkan penghapusan kekerasan terhadap anak. Dalam mengimplementasikan Stranas PKTA di Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, Kemen PPPA bekerjasama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) dan UNICEF telah meluncurkan Panduan Pelatihan Strategi Nasional Pengapusan Kekerasan terhadap Anak pada Desember lalu. Strategi ini pun diperkuat dengan peningkatan capaian pelaksanaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), termasuk pemeberian layanan perlindungan khusus di Kabupaten/Kota yang berfokus pada pencegahan, penanganan, dan memastikan partisipasi anak dalam seluruh prosesnya,” jelas Nahar.
Sementara itu, dalam upaya pencegahan, Pemerintah Indonesia melalui Kemen PPPA bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai Kementerian/Lembaga terkait dalam memastikan penurunan dan penghapusan kekerasan terhadap anak di berbagai lini. Pada lini pendidikan dan sekolah, Kemen PPPA bersama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekonologi (Kemendikbudristek) memiliki program Sekolah Ramah Anak (SRA) berupa satuan pendidikan formal, nonformal, dan informal yang aman, bersih, sehat, peduli, dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakukan salah lainnya, serta mendukung partisipasi anak dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, pengawasan, dan mekanisme pengaduan terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak di pendidikan.
Pada lini kepengasuhan, Kemen PPA dan Dinas yang mengampu urusan perempuan dan anak di daerah mengembangkan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) yang tersebar sebanyak 257 unit di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terdapat program Bina Keluarga Remaja berupa kegiatan yang dilakukan oleh keluarga dalam bentuk kelompok kegiatan dimana orang tua mendapatkan informasi dalam meningkatkan bimbingan dan pembinaan tumbuh kembang anak dan remaja secara baik dan terarah dengan dibantu oleh fasilitator dan kader.
Dari lini penguatan masyarakat, Kemen PPPA memiliki kader Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yang tersebar di sekitar 9.404 Desa/Kelurahan, 1.161 orang Satgas PPA, 518 Kelompok Perlindungan Anak (KPA) di 194 Kabupaten dan 25 Provinsi serta Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak (D/KRPPA) berupa Desa/Kelurahan yang mengintegrasikan perspektif gender dan hak anak dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintah desa, pembangunan desa, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa yang diselenggarakan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan sesuai dengan visi pembangunan Indonesia.
Dalam lini penguatan teman sebaya, Kemen PPPA memiliki Forum Anak yang tersebar di 34 Provinsi, 458 Kabupaten/Kota, 1.625 Kecamatan, dan 2.694 Desa/Kelurahan yang berperan sebagai wadah aspirasi anak sebagai pelopor dan pelapor (2P). Sementara itu, di lini sistem pembangunan, Kemen PPPA menginisiasi pembangunan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) yang merupakan Kabupaten/Kota yang memiliki sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemeritah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak.
“Di samping program-program yang telah dimiliki oleh Pemerintah Indonesia melalui Kemen PPPA dan Kementerian/Lembaga lainnya, tidak sedikit lembaga masyarakat, organisasi masyarakat, maupun mitra yang turut serta berperan dalam penurunan dan penghapusan kekerasan terhadap anak melalui berbagai program kemitraan dan kegiatan yang masuk dan menyasar dari berbagai sisi. Hal tersebut pun menjadi amunisi pendukung kami dalam memastikan perlindungan yang menyeluruh bagi anak di Indonesia,” ujar Nahar.
Sedangkan, dalam langkah penanganannya, Nahar menyampaikan Pemerintah Indonesia telah memiliki berbagai lembaga layanan pengaduan yang berfungsi sebagai wadah penanganan kasus kekerasan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Dalam memberikan fungsi layanan tersebut, Kemen PPPA menghadirkan Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 sebagai wujud nyata hadirnya negara dalam melindungi perempuan dan anak serta kemudahan askes bagi pelapor untuk mengadukan kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak melalui Hotline SAPA 129 dan/atau WhatsApp 08111-129-129. Terdapat 6 (enam) standar pelayanan SAPA 129, diantaranya pengaduan masyarakat, pengelolaan kasus, penjangkauan korban, pendampingan korban, mediasi, dan penempatan korban di rumah aman. Selain itu, Pemerintah Daerah pun menghadirkan layanan serupa melalui 258 Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di tingkat Kabupaten/Kota dan 34 Provinsi.
“Perlindungan anak baik di ranah daring maupun luring membutuhkan komitmen, kerjasama, sinergi, dan kolaborasi lintas sektor karena kepedulian semua pihaklah yang menjadi faktor utama dalam penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap anak. Meskipun Pemerintah Indonesia telah berupaya dalam memastikan anak-anak Indonesia terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan, kami pun tidak pernah lelah terus mengajak dan mendorong agar setiap masyarakat dapat melakukan upaya deteksi dini sebagai langkah awal pencegahan kekerasan terhadap anak. Deteksi dini dapat dilakukan melalui pemantauan dan pendampingan aktivitas anak; penyediaan data anak secara terpilah di tingkat Desa/Kelurahan; sosialisasi pengetahuan, pemahaman, dan perhatian terhadap kondisi perkembangan anak secara fisik, psikis, ataupun gangguan lainnya; serta penguatan kapasitas orang tua/pengasuh dan masyarakat secara berkelanjutan tentang perlindungan anak,” tandas Nahar.
BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id
- 06-01-2024
- Kunjungan : 29414
-
Bagikan: