Hari Ibu ke-97 di Tengah Bencana: Negara dan Ujian Melindungi yang Paling Rentan
Fakih Usman
Inspektur Kemen PPPA
22 Desember 2025
Hari Ibu ke-97 di Tengah Bencana:
Negara dan Ujian Melindungi yang Paling Rentan
Hujan yang turun berhari-hari di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat datang bersamaan dengan persiapan bangsa ini memperingati Hari Ibu ke-97 tahun 2025. Di tengah genangan air dan tanah yang runtuh, ironi itu terasa begitu dekat: Ketika Hari Ibu dirayakan dalam pidato dan spanduk, banyak Ibu justru duduk di lantai pengungsian—memeluk anak yang ketakutan, menenangkan lansia yang lemah, dan menunggu kepastian dari negara.
Bencana selalu membawa kehilangan. Namun ia tidak pernah datang secara adil. Dalam setiap kejadian, kelompok yang paling terdampak hampir selalu sama: perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen pengungsi bencana di Indonesia adalah perempuan dan anak-anak. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah potret tentang siapa yang paling lama bertahan di tengah krisis.
Perempuan tidak hanya kehilangan rumah dan penghidupan, tetapi juga memikul beban pengasuhan yang berlipat. Anak-anak kehilangan rasa aman dan rutinitas belajar. Lansia berhadapan dengan keterbatasan fisik dan penyakit yang sulit ditangani di pengungsian. Penyandang disabilitas sering kali harus menyesuaikan diri dengan sistem evakuasi dan layanan darurat yang tidak dirancang untuk mereka. Di titik inilah bencana berhenti menjadi peristiwa alam semata, dan menjelma menjadi persoalan keadilan sosial.
Dalam situasi seperti ini, kebijakan publik menjadi penentu arah. Mandat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menemukan relevansinya yang paling nyata. Pengarusutamaan Gender dan Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat bukan sekadar istilah dalam dokumen perencanaan, melainkan cara pandang tentang siapa yang harus lebih dulu dilindungi, dan siapa yang suaranya harus didengar.
Tanpa perspektif tersebut, penanganan bencana kerap terjebak pada pendekatan seragam dan administratif. Bantuan dihitung dari jumlah, bukan dari kebutuhan. Posko pengungsian berdiri, tetapi sering tanpa ruang aman bagi perempuan dan anak. Layanan kesehatan reproduksi tidak menjadi prioritas. Suara ibu penyintas jarang menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan. Ketika ini terjadi, ketangguhan perempuan dipuji, sementara ketidakadilan struktural dibiarkan berulang.
Kita sering merayakan Hari Ibu dengan menyanjung pengorbanan dan kesabaran. Namun refleksi kebijakan menuntut keberanian untuk bertanya lebih dalam: apakah negara terlalu bergantung pada daya tahan ibu, tanpa cukup melindungi mereka? Ketangguhan seharusnya tidak menjadi alasan untuk menormalisasi beban yang tidak adil.
Hari Ibu lahir dari sejarah pergerakan perempuan Indonesia—sebuah kesadaran bahwa perempuan adalah subjek pembangunan, bukan sekadar penerima dampak. Dalam konteks bencana hari ini, makna itu menjadi sangat nyata. Menghormati ibu berarti memastikan bahwa kebijakan penanggulangan bencana responsif terhadap kebutuhan perempuan dan anak, inklusif bagi lansia dan penyandang disabilitas, serta memberi ruang bagi suara penyintas dalam proses pemulihan.
Kemen PPPA, bersama kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, berada pada posisi strategis untuk memastikan bahwa kehadiran negara tidak berhenti pada fase darurat. Bencana seharusnya menjadi momentum koreksi—untuk memperbaiki cara pandang, memperkuat perlindungan, dan membangun pemulihan yang berkeadilan.
Di tengah hujan dan genangan, seorang ibu di pengungsian memeluk anaknya agar tetap hangat. Dalam pelukan itu, ada ketakutan yang tak terucap, dan harapan sederhana: dilindungi. Hari Ibu seharusnya menjadi lebih dari perayaan simbolik. Ia adalah ujian moral kebijakan publik. Jika negara masih membiarkan ibu menanggung beban bencana sendirian, maka yang gagal bukanlah para penyintas—melainkan kita semua yang merancang dan menjalankan kebijakan. Selamat Hari Ibu ke-97 Tahun 2025. FU
“Hari Ibu bukan tentang seremoni. Ia adalah cermin: Sejauh mana negara hadir ketika
Ibu tak lagi punya apa-apa selain harapan.”
- 21-12-2025
- Kunjungan : 16
-
Bagikan: