
Perkuat Peran Keluarga dan PUSPAGA untuk Cegah Perkawinan Anak dan Praktik Berbahaya terhadap Anak
Siaran Pers Nomor: B-444/SETMEN/HM.02.04/10/2025
Jakarta (13/11) – Pencegahan kekerasan dan praktik berbahaya terhadap anak, termasuk perkawinan anak dan praktik Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) harus dimulai dari unit terkecil, yaitu keluarga. Hal ini disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, dalam Talkshow dan Diseminasi “Peran Keluarga dan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) dalam Pencegahan P2GP dan Perkawinan Anak: Membangun Generasi Sehat dan Setara”.
“Mencegah perkawinan anak dan P2GP tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak. Ini adalah tanggung jawab kolektif yang memerlukan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, mulai dari keluarga, tokoh agama, pendidik, hingga anak-anak dan remaja itu sendiri. Kemen PPPA telah mengembangkan PUSPAGA sebagai wadah strategis untuk memperkuat ketahanan keluarga. Melalui PUSPAGA, masyarakat dapat memperoleh edukasi, layanan konseling, dan pendampingan psikologis bagi orang tua dan anak,” ujar Menteri PPPA, di Jakarta, Rabu (12/11).
Selain itu, Menteri PPPA juga menekankan pentingnya pencegahan melalui penguatan pola pengasuhan dalam keluarga. Menurutnya, penanganan kasus kekerasan membutuhkan biaya dan sumber daya yang sangat besar. Karena itu, langkah pencegahan dinilai sebagai cara efektif dan efisien untuk melindungi anak.
“Pencegahan harus melibatkan semua sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, infrastruktur, penegakan hukum, dan tentu keluarga sebagai lingkungan utama anak. Melalui edukasi masyarakat dan penguatan peran PUSPAGA, kita dapat mencegah berbagai masalah sosial anak seperti perkawinan anak dan praktik sunat perempuan,” ujar Menteri PPPA.
Dalam kesempatan yang sama, Child Protection Specialist UNICEF, Astrid Gonzaga, menjelaskan, melalui Program Better Reproductive Health and Rights for All in Indonesia (BERANI) II yang didukung oleh Pemerintah Kanada, UNICEF bersama Kemen PPPA, UNFPA, UN Women, dan mitra lokal, berkomitmen mendukung upaya menurunkan angka perkawinan anak, terutama di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur. Program ini menekankan pendidikan keterampilan hidup bagi remaja, kampanye yang dipimpin anak-anak, serta penguatan peran orang tua dan pemimpin masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi anak-anak perempuan.
“Di saat yang sama, UNICEF juga bekerjasama dengan Kemen PPPA memperkuat peran PUSPAGA sebagai layanan berbasis masyarakat yang mampu menjadi garda terdepan dalam mengedukasi pencegahan perkawinan anak dan P2GP. Kami percaya bahwa keluarga adalah ruang pertama dan utama bagi anak untuk belajar tentang kasih, perlindungan, dan nilai-nilai kesetaraan,” tutur Astrid.
Upaya bersama ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), khususnya TPB 5.3 untuk menghapus semua praktik berbahaya seperti perkawinan anak, pernikahan paksa, dan sunat perempuan, serta TPB 16.2 untuk mengakhiri kekerasan, eksploitasi, perdagangan manusia, dan segala bentuk penyiksaan terhadap anak.
“Kita semua memiliki tanggung jawab kolektif untuk memastikan bahwa tidak ada lagi anak perempuan yang harus menanggung luka, baik fisik maupun psikis, akibat praktek yang seharusnya sudah tidak ada lagi di era yang seperti ini. Mari kita terus bekerja bersama membangun generasi yang sehat, setara, dan berdaya, dimulai dari keluarga dengan dukungan penuh dari PUSPAGA dan seluruh elemen masyarakat,” pungkas Astrid.
Dalam sesi talkshow, Expert Tentang Anak, Grace Eugenia Sameve, menegaskan pentingnya peran keluarga dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung tumbuh kembang anak, termasuk keluarga. Pasalnya, keluarga merupakan pihak yang dapat membantu anak dalam membuat keputusan.
“Keluarga adalah unit sosial pertama anak dan biasanya informasi-informasi yang mereka peroleh itu awalnya dari keluarga. Terkadang dalam pembuatan keputusan, bukan anaknya yang memilih, tapi karena ada banyak faktor-faktor yang lain. Siapa sebenarnya yang bisa membantu atau mendukung anak dalam membuat keputusan? Sebenarnya keluarga itu,” ujar Grace.
Dari perspektif keagamaan dan sosial, Anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Pera Sopariyanti menggarisbawahi, Islam menempatkan perempuan sebagai manusia utuh yang memiliki akal budi dan nurani sebagaimana laki-laki. Menurut Pera, sunat perempuan dan sunat laki-laki merupakan dua hal yang berbeda.
“Pada laki-laki yang disunat itu adalah kulitnya dengan tujuan untuk kesehatan, sementara pada perempuan itu adalah pada dagingnya yang di mana daging itu adalah pusat syaraf, sehingga dampaknya tidak sama. Kita tahu kalau perempuan memiliki fungsi reproduksinya itu untuk menstruasi, hubungan seksual, hamil, melahirkan, menyusui, dan nifas. Sementara laki-laki fungsi reproduksinya hanya hubungan seksual. Fungsi reproduksi perempuan itu waktunya itu ada yang menitan, mingguan, bulanan, bahkan tahunan, sehingga ketika dia dilukai organ reproduksinya memiliki dampak yang panjang. Padahal di dalam Al-Quran sendiri pengalaman reproduksi perempuan Al-Quran digambarkan bagaimana membangun empati.” tutur Pera.
Dari lapangan, Kepala Bidang PPA Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Surabaya, Thussy Apriliyandari menegaskan pentingnya komitmen pemerintah daerah dalam mencegah praktik perkawinan anak dan sunat perempuan. Pasalnya, perkawinan anak memiliki dampak negatif, seperti putus sekolah, risiko kesehatan, risiko terisolasi dari masyarakat, hingga munculnya kasus kekerasan, hingga perceraian.
“Komitmen pemerintah sangat kuat, kaitan dengan pencegahan perkawinan anak dan sunat perempuan karena dampaknya luar biasa. Dampak negatif tersebut bisa kita cegah apabila semua pihak berkomitmen, mulai dari top management, yaitu pimpinan daerah, sampai ke seluruh organisasi masyarakat di akar rumput. Memang banyak mindset yang harus diluruskan di masyarakat, terutama banyak juga yang bilang bahwa anak perempuan yang menikah usia muda itu bisa mengurangi beban ekonomi, kemudian melepaskan tanggung jawab orang tua, dan seterusnya,” tutup Thussy.
BIRO HUMAS DAN UMUM
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id
- 13-11-2025
- Kunjungan : 68
-
Bagikan: