
Rentan Menjadi Korban Kekerasan, Pemerintah dan DPR Komitmen Lindungi Perempuan dan Anak dalam Situasi Darurat
Siaran Pers Nomor: B-427/SETMEN/HM.02.04/11/2025
Jakarta (06/11) – Perempuan dan anak dalam situasi darurat dan bencana rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender (KBG), seperti diskriminasi, stereotip, subordinasi, marginalisasi, serta kekerasan fisik, psikis, maupun seksual. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menempatkan perlindungan perempuan dan anak dalam situasi bencana sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional tahun 2025.
“Bencana bukan hanya ujian bagi infrastruktur, tetapi juga ujian bagi rasa kemanusiaan dan keadilan sosial kita. Oleh karena itu, membangun sistem penanggulangan bencana yang inklusif berarti memastikan perempuan dan anak tidak hanya menjadi penerima bantuan, tetapi juga subjek yang berdaya dan berperan aktif dalam pemulihan,” ujar Menteri PPPA dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dengan Tim Pengawas Penanganan Kebencanaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Rabu (5/11).
Salah satu dampak bencana bagi kelompok rentan adalah meningkatnya risiko KBG selama masa darurat dan pasca darurat. Contohnya di Sulawesi Tengah, ditemukan 67 kasus KBG pascagempa dan 70 kasus perkawinan anak pada periode Oktober 2018–Maret 2019. Selain itu, terjadi tiga kasus pemerkosaan di pengungsian pascagempa di Padang; 97 kasus KBG pascatsunami di Aceh; 313 kasus selama pandemi Covid-19; dan pelecehan seksual terhadap anak yang terjadi dalam waktu satu minggu setelah gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pencegahan dan penanganan KBG dalam situasi bencana. Pasalnya, kerentanan perempuan dan anak dalam situasi darurat dan bencana terhadap KBG ibarat fenomena gunung es, yaitu kasus yang sesungguhnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang dilaporkan.
“Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak, Kemen PPPA dimandatkan dalam tiga tugas perlindungan anak dalam situasi darurat bencana, yaitu pencegahan agar anak tidak menjadi korban tindak pidana atau sebagai akibat dari situasi darurat; pemenuhan kebutuhan dasar dan khusus anak yang terkoordinasi dengan Kementerian Sosial; dan pendampingan secara terkoordinasi dengan pihak lain,” tutur Menteri PPPA.
Dalam menindaklanjuti mandat tersebut, Kemen PPPA menetapkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pelindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Penanggulangan Bencana sebagai revitalisasi peraturan yang sudah ada sebelumnya. Peraturan menteri tersebut merupakan acuan bagi kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam melindungi perempuan dan anak dari KBG dalam situasi darurat dan bencana.
Tidak hanya itu, Kemen PPPA pun berkomitmen memperkuat pendekatan perlindungan berbasis gender dan pemenuhan hak anak di setiap tahapan penanganan bencana, mulai dari prabencana, tanggap darurat, hingga pemulihan pascabencana. Salah satu langkah yang diambil adalah mengaktivasi Pos Ramah Perempuan dan Anak yang berfungsi sebagai pusat pendataan terpilah perempuan dan anak, pusat dukungan psikososial, serta titik pengaduan bagi perempuan dan anak korban bencana.
“Kami berkomitmen untuk memperkuat kerja sama lintas kementerian/lembaga, DPR RI, dan pemerintah daerah agar perlindungan perempuan dan anak menjadi fondasi utama ketahanan bangsa dalam menghadapi bencana. Kami percaya, hanya dengan kerja bersama dan keberpihakan yang nyata, Indonesia dapat menjadi bangsa yang tangguh, berkeadilan, dan berkeadaban,” tutur Menteri PPPA.
Ketua Tim Pengawas Penanggulangan Bencana DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap bencana alam. Indonesia menghadapi berbagai jenis bencana, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan. Memasuki akhir tahun, Indonesia dihadapkan pada siklus tahunan bencana hidrometeorologi yang muncul seiring dengan meningkatnya curah hujan.
“Dampak dari bencana tidak hanya terbatas pada kerugian material, seperti kerusakan bangunan dan fasilitas umum, tetapi juga mencakup kerugian nonmaterial, seperti hilangnya nyawa manusia, trauma psikologis, dan terganggunya kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Bencana juga dapat memperburuk ketimpangan sosial dan menyebabkan kerentanan yang lebih besar terhadap kemiskinan dan ketidakadilan,” jelas Cucun.
Lebih lanjut, Cucun menggarisbawahi pentingnya koordinasi lintas kementerian/lembaga dalam menghadapi potensi kebencanaan. Menurut Cucun, diperlukan satu komando operasi terpadu yang jelas dan efektif yang mampu mengintegrasikan seluruh tahapan penanganan mulai dari prabencana, tanggap darurat, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi.
Di akhir Rapat Dengar Pendapat, Cucun mengatakan, Tim Pengawas Penanggulangan Bencana DPR RI mengapresiasi penyelarasan kinerja kementerian/lembaga pada saat prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana di Indonesia. Pihaknya juga menginisiasi penyelarasan regulasi penanganan bencana agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.
“Kami juga meminta antar-kementerian/lembaga meningkatkan koordinasi dan kolaborasi dalam upaya pengintegrasian layanan kedaruratan dalam bentuk single emergency number, single command center, dan aplikasi tunggal penanganan bencana; meminta pemerintah pusat dan daerah bersinergi secara aktif dengan masyarakat/komunitas, akademisi, dunia usaha, dan media dalam mengurangi risiko dan dampak, serta meningkatkan kinerja penanganan bencana dan pemulihan pascabencana,” pungkas Cucun.
BIRO HUMAS DAN UMUM
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id
- 06-11-2025
- Kunjungan : 269
-
Bagikan: