• SAPA 129
Jika anda mengalami, melihat, mendengar dan mengetahui tindak kekerasan pada perempuan dan anak hubungi hotline SAPA 129 atau melalui whatsapp 08111-129-129
  • SAPA 129
  • BERANDA
  • PROFIL
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Profil Pejabat
    • Statistik Pegawai
    • Logo
    • Sejarah
    • Kementerian
    • Deputi I
    • Deputi II
    • Deputi III
    • Deputi IV
    • Setmen
    • Inspektorat
    • KPAI
  • DATA & INFORMASI
    • Publikasi
    • Dokumen Perencanaan dan Anggaran
    • Dokumen Kinerja
    • Laporan Keuangan & BMN
    • Program Kerja Pengawasan
    • Data PP dan PA
    • Dinas PPPA
    • UPTD PPA
    • Siaran Pers
    • Berita Pemerintahan
    • Image Dan Video
    • Buku
    • Jurnal/Hasil Penelitian/Kajian
    • Infografis
    • Database Dinas PPPA
    • Tentang UPTD PPA
    • Prosedur Pembentukan
    • Struktur Organisasi
    • SDM UPTD PPA
    • Database UPTD PPA
    • Peta Persebaran
    • Image Galery
    • Iklan Layanan Masyarakat
    • Video Berita
    • Anak
    • Perempuan
    • Capaian Program
    • Provinsi
    • Kab/Kota
    • Provinsi
    • Kabupaten/Kota
    • Jabatan Fungsional
    • Jabatan Pelaksana
    • Provinsi
    • Kabupaten/Kota
    • Hotline
  • PROGRAM PP & PA
  • LAYANAN
  • RENCANA TERBIT
  • BERANDA
  • PROFIL
    • Tentang Kami
      • Logo
      • Sejarah
    • Struktur Organisasi
    • Profil Pejabat
      • Kementerian
      • Deputi I
      • Deputi II
      • Deputi III
      • Deputi IV
      • Setmen
      • Inspektorat
      • KPAI
    • Statistik Pegawai
  • DATA & INFORMASI
    • Publikasi
      • Siaran Pers
      • Berita Pemerintahan
      • Image Dan Video
        • Image Galery
        • Iklan Layanan Masyarakat
        • Video Berita
      • Buku
      • Jurnal/Hasil Penelitian/Kajian
      • Infografis
        • Anak
        • Perempuan
        • Capaian Program
    • Dokumen Perencanaan dan Anggaran
    • Dokumen Kinerja
    • Laporan Keuangan & BMN
    • Program Kerja Pengawasan
    • Data PP dan PA
    • Dinas PPPA
      • Database Dinas PPPA
        • Provinsi
        • Kab/Kota
    • UPTD PPA
      • Tentang UPTD PPA
      • Prosedur Pembentukan
      • Struktur Organisasi
        • Provinsi
        • Kabupaten/Kota
      • SDM UPTD PPA
        • Jabatan Fungsional
        • Jabatan Pelaksana
      • Database UPTD PPA
        • Provinsi
        • Kabupaten/Kota
        • Hotline
      • Peta Persebaran
  • PROGRAM PP & PA
  • LAYANAN
  • RENCANA TERBIT
  • Home
  • List
  • Anak-anak Korban Perang

Anak-anak Korban Perang

Perang, di belahan dunia mana pun, senantiasa menimbulkan akibat yang mengerikan dan menjadi pilihan terakhir yang seharusnya dihindari meski ada pihak-pihak yang tengah bersengketa tak juga mencapai kata sepakat. Seolah kita tak pernah belajar dari sejarah ketika bangsa di dunia ini sudah mengklaim sebagai bangsa yang beradab, ternyata perang tetap berkobar di sejumlah tempat. Dan yang terasa menyesakkan adalah ketika anak- anak yang harus ikut menanggung dosa dan kesalahan elite politik yang haus darah.

Di pengujung akhir tahun 2008, perang pecah di Jalur Gaza. Serangan brutal Israel ke wilayah Gaza terus berlanjut. Lebih dari 700 gempuran yang mereka lakukan menyebabkan 436 warga Palestina tewas, termasuk 75 anak-anak. Sedikitnya 2.290 orang cedera. Dari Gaza, milisi Hamas juga tak mau kalah, mereka membalas serangan Israel dengan melepas sekitar 500 roket ke wilayah Israel dan menewaskan empat warga sipil.

Perang senantiasa dikutuk bukan karena di sana kekerasan hadir tanpa kompromi dan darah manusia dihalalkan, tetapi karena korban pertama yang paling menderita akibat perang tak pelak adalah anak-anak dan warga sipil pada umumnya. Hati siapa yang tak miris ketika menyaksikan foto mayat anak-anak yang bergelimpangan akibat gempuran rudal musuh dan tatapan mata yang kosong dari anak-anak yang kebingungan karena tiba-tiba harus kehilangan orangtua dan sanak keluarganya akibat serangan bom atau tembakan peluru tajam.

Makin meningkat

Dalam dua dasawarsa terakhir dilaporkan, puluhan juta anak hidup menderita dan bahkan tewas akibat peperangan yang berkecamuk di sejumlah negara. Akibat perang yang tak kunjung usai, korban warga sipil dari tahun ke tahun makin meningkat, khususnya anak-anak. Menurut laporan Unicef (1996), pada Perang Dunia I, korban warga sipil semula hanya 14 persen, pada Perang Dunia II melonjak hingga 70 persen, dan pada tahun 1990 korban perang dari warga sipil naik menjadi 90 persen.

Anak-anak yang semestinya memiliki hak untuk tumbuh kembang secara wajar ketika perang berkecamuk seluruh hak mereka bukan saja ditelantarkan, tetapi tak jarang bahkan dilanggar begitu saja tanpa sedikit pun ada rasa belas kasihan. Perang, apa pun alasannya, adalah sebuah tindak kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hak- hak anak yang paling brutal.

Di sejumlah negara yang terjerumus dalam peperangan, risiko yang sangat mencemaskan namun selalu tak terhindarkan menimpa anak-anak yang tinggal di daerah konflik bersenjata. Selain kecacatan dan kehilangan nyawa adalah trauma, dan bahkan risiko anak-anak yang tak berdosa itu menjadi korban eksploitasi untuk terlibat langsung dalam proyek balas dendam yang tak kunjung usai.

Tentara anak

Fenomena anak-anak yang terlibat sebagai tentara anak adalah kasus yang sudah lama menjadi keprihatinan dunia internasional, tetapi hingga kini jumlahnya tak juga berkurang. Setiap kali konflik senjata pecah dan bom-bom dijatuhkan ke wilayah musuh, maka detik itu pula akan muncul anak-anak yang jiwanya terluka: yang siap ikut mengangkat senjata membalas dendam membunuh lawan karena telah merenggut nyawa orang- orang yang mereka cintai. Bisa dibayangkan, apa yang berkecamuk di benak anak-anak korban perang itu ketika segala sesuatunya tiba-tiba hilang.

Anak-anak korban perang niscaya akan tumbuh dengan jiwa yang terluka, dijejali dengan setumpuk dendam kesumat yang tak akan hilang kapan pun. Pengalaman telah banyak membuktikan bahwa anak-anak korban perang biasanya tumbuh menjadi tentara anak yang menakutkan: mereka bahkan tak jarang menjadi bagian dari pasukan berani mati yang rela bunuh diri asalkan memperoleh kepuasan karena berhasil membunuh lawan yang telah merenggut nyawa orangtua, teman, dan orang-orang yang mereka cintai.

Selain menimbulkan kematian, tak sekali-dua kali perang juga menimbulkan kecacatan fisik yang permanen, luka batin yang mendalam, dan harga diri yang terkoyak. Perang yang terjadi di Bosnia-Herzegovina dan Kroasia, Banglades, Kamboja, Haiti, Siprus, Rwanda, Somalia, Uganda, dan di mana pun telah banyak membuktikan bagaimana nasib anak-anak korban perang.

Anak-anak korban perang niscaya akan terlunta-lunta, kelangsungan hidupnya terganggu, bahkan yang mengerikan adalah ketika sebagian anak-anak perempuan kemudian juga menjadi korban efek samping perang: mereka diperkosa tentara musuh sebagai tanda penundukan sekaligus senjata untuk melakukan tekanan untuk mendemoralisasi semangat lawan.

Menurut kesepakatan internasional, perang jika memang harus terjadi atau tidak lagi terhindarkan, maka anak-anak sesungguhnya mutlak harus dipastikan tidak menjadi korban situasi. Akan tetapi, yang ironis, di kalangan bangsa-bangsa yang mengaku paham hak asasi manusia dan mengklaim sebagai bangsa yang bermoral ternyata yang mereka lebih kedepankan tampaknya adalah kepentingan yang sifatnya pragmatis, harga diri yang terlalu egois, dan arogansi.

Alih-alih bersedia memilih jalan damai atau minimal menyelesaikan sengketa lewat jalur dialog, tidak sedikit pemimpin negara di dunia ini ternyata lebih memilih perang sebagai jawaban atas ketidaksabaran dan rasa superordinasi. Bahkan, tidak jarang terjadi, agama pun kemudian menjadi dasar pembenar ditempuhnya jalan perang untuk menghilangkan musuh atau legitimasi untuk membela harga diri dan dalih demi kepentingan agama masing-masing pihak yang bersengketa.

Bagi anak-anak yang menjadi korban perang, situasi konflik yang hadir di sekitar mereka bahkan bukan tidak mungkin justru menjadi proses pembelajaran dan bentuk sosialisasi tindak kekerasan yang paling masif dan mengindoktrinasi. Menangani anak-anak yang menjadi korban perang dengan bantuan kemanusiaan dan layanan kesehatan untuk merehabilitasi luka-luka fisik, benar untuk jangka pendek memang diperlukan.

Tetapi, lebih dari sekadar penanganan yang sifatnya darurat-penyelamatan, bagi anak- anak yang menjadi korban perang justru pertolongan yang paling dibutuhkan adalah bagaimana kita semua mampu merekonstruksi kembali sejarah kelam yang mereka baru lalui dan segera belajar bahwa perang adalah cara biadab yang sama sekali harus dihindari untuk mencegah tumbuhnya benih-benih peperangan dan kekerasan di masa yang akan datang.

Penulis : Khrisna Bayu

  • 24-02-2016
  • Kunjungan : 13674
  • Bagikan:


Artikel Paling Banyak Dilihat

Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Kaum...
09-06-2017
195845
KESETARAAN GENDER : PERLU SINERGI ANTAR KEMENTERIA...
23-02-2018
116975
Perempuan Rentan Jadi Korban KDRT, Kenali Faktor P...
19-05-2018
54307

Artikel Terbaru

Hak Atas Informasi, Jalan Memberantas Kekerasan da...
19-12-2022
3112
Pentingnya Menanamkan Kecintaan Lingkungan dan Kel...
03-05-2021
1021
Kisah Optimistis Perempuan Bangkit dari Pandemi
28-04-2021
1209

    Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
    Jl. Medan Merdeka Barat No. 15, Jakarta 10110
    Pengaduan Pelayanan Publik

    Permohonan Informasi Publik

Hubungi Kami

  • (021) 3842638, 3805563

  • humas at kemenpppa.go.id

  • persuratan at kemenpppa.go.id

  • Lokasi
Peta Situs Prasyarat
Glosarium

© 2025 - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Website ini dikelola oleh Kemenpppa RI. Kami berkomitmen melindungi privasi dan data pribadi Anda. Info lebih lanjut dapat mengunjungi halaman
Prasyarat Pengguna