Kemen PPPA Dorong Implementasi UU TPKS Lewat Penguatan Layanan Terpadu
Siaran Pers Nomor: B-343/SETMEN/HM.02.04/09/2025
Jakarta (03/10) — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menegaskan pentingnya percepatan implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan seluruh aturan turunannya untuk memperkuat perlindungan perempuan dan anak. Urgensi ini terlihat dari hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 yang mencatat satu dari empat perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan, serta Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 yang menemukan 51 persen anak usia 13–17 tahun pernah mengalami kekerasan, dengan kekerasan emosional paling dominan.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Desy Andriani menegaskan bahwa data tersebut menjadi perhatian serius dan menjadi program prioritas pemerintah dalam memberikan pelindungan bagi perempuan dan anak Indonesia yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual secara komprehensif dari hulu hingga ke hilir dengan mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual sebagai langkah nyata.
Implementasi UU TPKS dan percepatan seluruh aturan turunannya dan penguatan sistem hukum yang berperspektif pada korban dan adil gender, serta pendidikan seksual yang inklusif dan berbasis HAM untuk efektivitas pencegahan dan penanganan TPKS. “Implementasi oleh kementerian dan lembaga yang melibatkan aparatur penegak hukum (APH) sangat penting untuk mendorong optimalisasi penanganan kasus kekerasan seksual,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan saat membuka acara Komunikasi Publik Memahami Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Turunannya secara hybrid di Jakarta (02/10).
Lebih lanjut, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan menambahkan, tantangan terbesar adalah memastikan implementasi UU TPKS berjalan konsisten di lapangan, termasuk penyesuaian dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan penguatan sinergi lintas sektor.“Dengan kolaborasi yang kuat antar kementerian/lembaga, perlindungan perempuan dapat menjadi kunci untuk mewujudkan Indonesia yang lebih aman, adil, dan sejahtera,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kemen PPPA mendorong penguatan layanan di tingkat daerah yang menjadi garda terdepan perlindungan perempuan dan anak.
Asisten Deputi Tata Kelola Perlindungan Hak Perempuan dan Strategi Pelaksana Layanan Terpadu Kemen PPPA, Sylvianti Anggraini menekankan pentingnya memperkuat peran Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai ujung tombak layanan terpadu sesuai mandat Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2024 dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2024.
“UPTD PPA harus mampu menyediakan pengaduan, asesmen, pendampingan psikologis, hukum, kesehatan, hingga pemberdayaan ekonomi bagi korban. Layanan ini harus cepat, terpadu, dan terintegrasi agar korban segera terlindungi dan pulih,” ujar Asdep Tata Kelola Perlindungan Hak Perempuan dan Strategi Pelaksana Layanan Terpadu.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Ratna Batara Munti turut menekankan pentingnya kolaborasi pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2024.“Kolaborasi yang inklusif antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat sipil menjadi kunci untuk memastikan layanan pencegahan dan penanganan korban sesuai standar,” ungkap Wakil Ketua Komnas Perempuan.
Dukungan bagi pemulihan korban juga disampaikan Sekretaris Jenderal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Sriyana yang menekankan pentingnya memastikan korban memperoleh pemulihan menyeluruh, tidak hanya dalam aspek hukum tetapi juga psikologis dan sosial.
“Dana Bantuan Korban (DBK) menjadi wujud nyata kehadiran negara dalam memastikan hak-hak korban terlindungi. Melalui DBK, korban dapat memperoleh bantuan biaya untuk perawatan medis, pendampingan psikologis, bantuan hukum, hingga pemulihan sosial dan ekonomi agar mereka dapat kembali menjalani hidup dengan aman dan bermartabat. LPSK juga berkomitmen untuk memperkuat koordinasi dengan UPTD PPA dan pihak terkait agar layanan pemulihan berjalan cepat, efektif, dan terintegrasi,” jelas Sejken LPSK.
Acara ini juga menghadirkan Ketua LBH APIK, Uli Pangaribuan, yang memaparkan substansi Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2025 tentang Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban TPKS. Sementara itu, Mutia Farida perwakilan dari Kementerian Keuangan menyoroti implementasi Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Seksual. Turut hadir Siti Aminah Tardi dari Indonesian Legal Resource Center (ILRC) yang mengulas substansi UU TPKS beserta tantangan pelaksanaannya di lapangan.
Kemen PPPA bersama kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil berkomitmen memperkuat kolaborasi guna memastikan implementasi UU TPKS berjalan efektif. Dengan sinergi yang solid Kemen PPPA optimis implementasi UU TPKS tidak hanya memperluas akses layanan korban, tetapi juga menjadi fondasi bagi terciptanya budaya nol toleransi terhadap kekerasan di Indonesia.
BIRO HUMAS DAN UMUM
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id
- 03-10-2025
- Kunjungan : 930
-
Bagikan: