
Kemen PPPA Pantau Kasus Penetapan Tersangka Pengacara Korban Kekerasan Seksual di Yogyakarta
Siaran Pers Nomor: B – 236 /SETMEN/HM.02.04/07/2024
Jakarta (28/7) – Penetapan status tersangka terhadap Meila Nurul Fajriah, pengacara/ pendamping hukum para korban dugaan kasus kekerasan seksual di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menjadi catatan penting bagi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bahwa profesi pengacara korban kekerasan seksual belum sepenuhnya terlindungi oleh hukum.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati menyatakan prihatin atas penetapan tersangka kepada pendamping korban. Ratna berharap ada kebijakan dari pihak aparat penegak hukum dalam melihat sudut pandang kasus yang ditangani tersangka yang adalah pengacara sekitar 30 korban kekerasan seksual. Ratna menyatakan pendamping korban memiliki hak impunitas yang melekat pada profesi mereka ketika menjalani tugasnya dan tidak dapat dituntut, baik itu secara pidana ataupun perdata.
“Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, menjelaskan bahwa Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat,” ujar Ratna.
Selain itu, Ratna menambahkan bahwa dalam UU UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 15 menyebutkan bahwa advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Jaminan perlindungan hukum terhadap pendamping korban juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Dalam Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yaitu Pasal 29 disebutkan dengan jelas bahwa Pendamping Hukum yang sedang melakukan Penanganan terhadap Korban tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas pendampingan atau pelayanannya, kecuali jika pendampingan atau pelayanannya diberikan tidak dengan iktikad baik. Pasal sebelumnya yaitu Pasal 28 menegaskan bahwa Pendamping berhak mendapatkan Perlindungan hukum selama mendampingi Korban dan Saksi di setiap tingkat pemeriksaan,” ujar Ratna.
Ratna menyampaikan jika merasa ada pelanggaran kode etik pada seorang pengacara maka dapat dilaporkan terlebih dahulu ke Dewan Kehormatan Advokat untuk diproses selanjutnya.
Sosialisasi terkait UU TPKS menurut Ratna perlu dilakukan secara masif agar pelindungan hukum bagi pendamping korban dapat diketahui oleh masyarakat luas serta agar memberikan ketenangan bagi pendamping korban saat menjalankan tugasnya. Ratna juga mengingatkan dipertimbangkannya pemahaman perspektif gender dalam proses hukum terhadap korban kekerasan seksual.
“Pemahaman perspektif gender dalam keseluruhan proses penanganan sangat penting untuk memberikan kepentingan terbaik bagi korban maupun pendampingnya. Hal inilah yang harus diperhatikan setiap aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan juga anak. Itu sebabnya perlindungan terhadap pendamping hukum korban sangat penting mengingat mereka memiliki kode etik untuk mengungkapkan informasi korban yang didampinginya,” tegas Ratna.
Dalam hal pendampingan terhadap para korban, Ratna menyatakan Kemen PPPA telah melakukan koordinasi dengan Balai Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan anak dan Pengendalian Penduduk (DPPPA) Provinsi DIY. Balai PPPA Provinsi DIY akan melakukan penjangkauan untuk memastikan keadaan korban mengingat kasus tersebut mencuat kembali setelah penetapan pendampingnya sebagai tersangka.
Meningkatnya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi perlu diwaspadai oleh semua pihak. Ratna menilai satgas PPKS di setiap perguruan tinggi perlu dibentuk sebagai tempat mengadu bagi para korban saat menjadi korban kekerasan, baik fisik, mental dan seksual. Layanan pengaduan juga bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin agar korban bisa segera mendapatkan pendampingan sosial hingga memastikan pendampingan hukum.
“Jika masyarakat melihat tindak kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, dapat melapor melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08-111-129-129. Jangan takut melapor agar kasus dapat diselesaikan dan korban terlindungi,” pungkas Ratna.
#Perempuan Berdaya, Anak Terlindungi
BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id
- 28-07-2024
- Kunjungan : 1310
-
Bagikan: