
Kemen PPPA: Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum Masih Belum Terlindungi
Siaran Pers Nomor: B-140/SETMEN/HM.02.04/5/2024
Denpasar (22/05) – Negara mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa perempuan harus mendapatkan keadilan serta bebas dari segala diskriminasi dalam sistem peradilan. Namun, hingga saat ini sering kali perempuan tidak mendapatkan hal tersebut dalam setiap level proses hukum. Plt. Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ratih Rachmawati mengungkapkan perempuan yang berhadapan dengan hukum seringkali masih dipenuhi dengan rasa takut dan ketidakadilan baik mereka sebagai korban, sebagai saksi, bahkan sebagai pelaku sekalipun.
“Seringkali perempuan yang berhadapan dengan hukum hampir tidak menemui titik terang dalam penyelesaian kasus yang dialaminya di mata hukum. Alih-alih menyelesaikan kasusnya di mata hukum, perempuan yang seringkali dalam posisi korban justru jauh dari kata perlindungan. Padahal, bisa dibayangkan, sudah menderita fisik dan juga psikis, korban masih harus mempersiapkan mental kuat-kuat untuk mengahadapi proses hukum,” ujar Ratih.
Ratih mengungkapkan dalam memberikan pendampingan terhadap AP yang saat ini masih menjalani proses sidang pra peradilan di Pengadilan Negeri Denpasar, merupakan komitmen Kemen PPPA adalah dalam rangka memastikan pelindungan dan pemenuhan hak perempuan korban untuk mendapatxzkan akses keadilan pada proses hukum yang dijalaninya. Kemen PPPA juga memastikan agar dalam prosesnya pihak terkait baik Aparat Penegak Hukum, Kepolisian, dan lainnya dalam penanganan kasus perempuan dan anak harus bersipat objektif dan mengedepankan asas persamaan di depan hukum yang responsif dan berperspektif korban.
“Tentu banyak hal harsusnya menjadi perhatian khusus dari Penyidik tentang bagaimana melakukan prosedur hukum dalam sebuah kasus pidana terhadap perempuan. Memberikan perlindungan atas hak-hak perempuan yang berhadapan dengan hukum harus menjadi pemahaman bagi semua pihak yang terlibat. Proses yang adil bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum dapat dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan, dan penyitaan,” ungakp Ratih.
Ratih menegaskan peran Kemen PPPA dalam mengawal kasus ini mulai dari penanguhan penahanan hingga sidang pra peradilan menjadi peran sebagai pendamping untuk memastikan korban merasa aman dalam setiap proses mencari keadilan di mata hukum dan memastikan pasal yang menjerat pelaku adalah pasal yang paling tepat.
Ratih menambahkan agenda sidang pra peradilan yang dijalani AP saat ini masuk pada tahap penyampaian pendapat dari para saksi ahli baik dari pihak pemohon maupun termohon yang dijadwalkan akan rampung dalam pekan ini. Sedangkan untuk sidang pra peradilan terakhir akan dijadwalkan pekan depan dengan agenda pembacaan kesimpulan dan keputusan dari Hakim Pengadilan Negeri Denpasar terkait permohonan dari pihak pemohon.
Sementara itu, hadir sebagai Saksi Ahli dari pihak Pemohon, yang merupakan Tenaga Ahli Hukum Pidana Kemen PPPA dan juga Dosen Ahli Hukum Pidana Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian.
Sebagai Saksi Ahli, Ahmad Sofian mengungkapkan dalam menangani kasus AP Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) N0. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan Dengan Hukum dapat menjadi acuan dalam prosesnya. Perma ini juga sebagai respon Mahkamah Agung terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) yang mengakui kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan.
Adapun Pasal 1 angka 1 PERMA No 3 Tahun 2017 mengartikan perempuan yang berhadapan dengan hukum sebagai perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak. Adapun tujuan dari pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum agar hakim memahami dan menerapkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum; mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan; dan menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan.
Sofian menambahkan kehadiran PERMA No 3 Tahun 2017 ini sungguh memberikan angin segar bagi perempuan korban kekerasan seksual dalam menggapai keadilan di mata hukum, serta dapat menambah sensitifitas gender bagi hakim Aparat Penegak Hukum dalam rangka melahirkan hukum-hukum progresif baru yang ramah terhadap perempuan. Meskipun pada praktiknya, kehadiran regulasi ini hanya mencakup di dalam persidangan. Proses hukum yang dilalui perempuan yang di luar persidangan masih menjadi perhatian besar agar perempuan tetap merasa aman dan memperoleh keadilan.
“Kalau PERMA N0. 3 Tahun 2017 itu tentang hukum acaranya dan tata caranya ketika penegak hukum menghadapi perempuan yang berhadapan dengan hukum. Sedangkan terkait hak-haknya belum ada peraturan yang mengatur secara spesifik namun secara umum tertuang dalam Undang-undang nomro 13 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan bahwa hak-hak tersebut meliputi hak atas pendampingan, pemulihan, ganti kerugian, hak mendapatkan bantuan hukum, hak mendapatkan perlindungan privasi dan lainnya,” jelas Sofian.
Sementara itu, dalam kasus AP setelah melakukan pendalaman kasus, menurut Sofian terdapat beberapa kejanggalan dalam proses penanganan kasus AP oleh penyidik yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Pertama, proses penetapan AP sebagai tersangka sangat cepat tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu sebagai pelapor. Kedua, AP tidak pernah menerima surat perintah dimulainya penyidikan sesuai ketentuan undang-undang. Ketiga, AP langsung ditetapkan sebagai tersangka tanpa dipanggil terlebih dahulu sebagai pelapor. Keempat, penangkapan terhadap AP dilakukan tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan. Kelima, penyitaan barang bukti juga dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua Pengadilan Negeri.
“Dari sejumlah kejanggalan yang terjadi dalam kasus AP ini saya berpendapat bahwa tindakan-tindakan paksa oleh penyidik dalam proses ini terdapat cacat hukum acara dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum acara pidana. Oleh karena itu, besar harapan agar hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang menangani kasus AP dapat mempertimbangkan aspek hak dan perlindungan terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Dilakukannya proses sidang pra peradilan ini untuk kemudian menguji apakah tindakan yang dilakukan penyidik dalam proses hukum terhadap terlapor AP sudah memenuhi kaidah dan norma yang diatur, mulai dari proses penyidikan, penyelidikan, penetapan tersangka, penangkapan, penyitaan yang mana nantinya hal ini akan diputuskan sah atau tidaknya oleh Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar,” ujar Sofian.
Sebelumnya telah diberitakan, bahwa AP ditahan atas dugaan pelanggaran dalam Pasal 48 ayat (1) Jo Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP karena sebuah unggahan di akun Instagram @ayoberanileporkan6 yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang berinisial BA. AP ditahan berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B/25/I/2024/SPKT/POLRESTA DENPASAR/POLDA BALI, tanggal 21 Januari 2024.
BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id
- 22-05-2024
- Kunjungan : 4194
-
Bagikan: