
Kemen PPPA Tekankan Kebijakan Berperspektif Perempuan dalam Isu Kekerasan hingga Kesehatan di Musyawarah Nasional Perempuan
Siaran Pers Nomor: B-85/SETMEN/HM.02.04/03/2024
Jakarta (28/3) - Dalam Musyawarah Nasional (Munas) Perempuan 2024 hari kedua yang dilaksanakan secara daring, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) kembali mendorong partisipasi perempuan, anak lanjut usia, penyandang disabilitas dan kelompok marginal dalam menyusun kebijakan yang inklusif dan ramah gender. Plt. Sekretaris Kementerian PPPA, Titi Eko Rahayu menyampaikan isu yang dibahas dalam Munas Perempuan seperti isu kekerasan, lingkungan hidup, perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, hingga kesehatan sangat bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga perspektif perempuan dibutuhkan agar kebijakan yang dibuat benar-benar dapat memberikan manfaat bagi berbagai lapisan masyarakat.
“Berbagai strategi dan inisiatif telah dikembangkan dan berhasil mengatasi isu-isu gender, namun masih terdapat isu-isu yang belum terselesaikan. Salah satu penyebab utamanya adalah budaya patriarki yang melembaga, bukan hanya di kehidupan sehari-hari, tapi juga masuk dalam level kebijakan, sektor pembangunan sosial budaya, ekonomi, dan politik. Permasalahan tersebut sangat menghambat perempuan dan kelompok rentan lainnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Melalui Musyawarah Nasional Perempuan yang dilaksanakan selama dua hari ini sudah banyak aspirasi dari para perempuan yang ditampung untuk mendorong proses perencanaan pembangunan yang inklusif dan menjawab tujuan yang kita cita-citakan bersama,” ungkap Titi Eko (27/3).
Titi Eko menyampaikan saat ini peran perempuan dalam forum-forum musyawarah dan penyusunan kebijakan lebih di titik-beratkan pada bagian administratif atau hanya melibatkan sedikit perempuan yang suaranya kalah dari mayoritas. Padahal isu-isu seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan kesehatan reproduksi sangat membutuhkan perspektif pengalaman khas perempuan itu sendiri agar implementasinya tepat sasaran.
“Di antara masalah dan tantangan tersebut, Indonesia memiliki modalitas kebijakan, penganggaran, dan implementasi yang menunjukkan beberapa kemajuan. Diluncurkannya inisiatif Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA), disahkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan penganggaran responsif gender, merupakan sebagian kecil upaya pemerintah untuk mengakomodasi kebutuhan kelompok rentan. Meski begitu, upaya-upaya peningkatan partisipasi dan akomodasi masukan dari kelompok rentan masih harus senantiasa dilaksanakan agar program dan kebijakan yang inklusif bisa masuk ke seluruh sektor pembangunan,” ungkap Titi Eko.
Titi Eko menyampaikan 9 (sembilan) agenda yang dibahas dalam Munas Perempuan pada 26-27 Maret 2024 akan didokumentasikan dan dipresentasikan pada acara puncak 20 April 2024 mendatang di Badung, Bali. Nantinya rekomendasi kebijakan akan disebarluaskan kepada Kementerian/Lembaga sebagai pembelajaran tentang partisipasi bermakna perempuan, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya. Harapannya rekomendasi tersebut dapat dijadikan masukan dokumen teknokratis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan diturunkan menjadi Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga.
Lebih lanjut, Titi Eko menyampaikan jajaran Kemen PPPA dan mitra-mitra kerja akan terus mengawal 9 (sembilan) agenda tersebut sampai pada proses akhir penetapan RPJMN dan Renstra Kementerian/Lembaga.
Dari hasil diskusi yang dilaksanakan, terdapat beberapa usulan terkait isu kesehatan perempuan, yakni pentingnya memperluas layanan kesehatan reproduksi dan memberikan pendidikan hak kesehatan seksual reproduksi (HKSR) sejak dini di lembaga pendidikan. Untuk mendukung hal tersebut, penting melaksanakan pemerataan layanan kesehatan dengan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai, dan dilengkapi dengan akses pengecekan infeksi menular seksual. Selain itu, layanan kesehatan di desa (Poskesdes) diharapkan bisa terintegrasi dengan layanan BPJS.
Kedua, dari sisi perempuan dan lingkungan hidup, penyelesaian konflik tata ruang sangat diperlukan salah satunya dengan menyelesaikan agenda one map dan one data untuk mengakui wilayah rakyat. Lebih lanjut, diharapkan hutan adat dapat terus dilestarikan dan tidak masuk ke dalam skema perhutanan sosial, dan proses pengusulan hutan adat, khususnya yang berada di wilayah konservasi dapat dipermudah. Untuk mencegah bencana ekologis, keterlibatan perempuan dalam rapat pengambilan keputusan perlu terus didorong sehingga peningkatan kapasitas perempuan terkait isu ketahanan iklim dapat ditunjang.
Ketiga, dari sisi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, pemerintah perlu memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang memiliki praktik-praktik diskriminatif terhadap perempuan, seperti kawin tangkap, perbudakan karena status sosial, dan masalah lainnya. Untuk mendukung hal itu, pemerintah provinsi dan kabupaten diharapkan dapat mempercepat pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan diikuti dengan pelatihan bagi aparat penegak hukum mengenai instrumen hak perempuan dan anak, dan penerapan UU TPKS. Dari sisi pencegahan, sosialisasi tentang kekerasan dan hak asasi perempuan dan anak perlu ditingkatkan mulai dari memasukkannya sebagai mata pelajaran di lembaga pendidikan, hingga lebih menjangkau masyarakat di daerah 3T.
Keempat, dari sisi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, diharapkan pemerintah pusat dapat segera mengesahkan peraturan turunan UU TPKS. Untuk menunjang pelaksanaan peraturan ramah perempuan dan anak yang implementatif, diharapkan peningkatan jumlah dan kapasitas bagi APH (Aparat Penegak Hukum) juga bisa dilaksanakan. Di sisi lain, mendorong kolaborasi antar Kementerian/Lembaga juga perlu diupayakan sehingga hak-hak anak dan perempuan yang berhadapan dengan hukum dapat terpenuhi, contohnya hak pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan penyediaan pendampingan. Lebih lanjut kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat ditingkatkan, khususnya dalam rangka alokasi penganggaran lembaga bantuan hukum bagi perempuan dan anak.
Adapun 9 (sembilan) agenda yang dibahas dalam Munas Perempuan 2024, yakni: (1) kemiskinan; (2) perempuan pekerja; (3) penghapusan perkawinan anak; (4) ekonomi perempuan berperspektif gender; (5) kepemimpinan perempuan; (6) kesehatan perempuan; (7) perempuan dan lingkungan hidup; (8) kekerasan terhadap perempuan dan anak; dan (9) perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, dan telah dibahas selama dua hari ini.
BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
site : ww.kemenpppa.go.
- 28-03-2024
- Kunjungan : 5659
-
Bagikan: