
Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum Harus Menjamin Hak Perempuan terhadap Akses yang Setara dalam Peroleh Keadilan
Siaran Pers Nomor: B-153/SETMEN/HM.02.04/3/2024
Denpasar (30/5) – Pengadilan Negeri Denpasar Kelas IA menolak gugatan praperadilan yang dimohonkan AP, seorang perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilaporkan atas kasus pelanggaran Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) setelah dugaan kasus perselingkuhan dan KDRT yang dilakukan oleh suaminya mencuat di sosial media. Putusan penolakan itu dibacakan hakim tunggal, Ni Made Oktimandiani pada Senin (27/5) siang.
Diketahui AP ditahan atas dugaan pelanggaran Pasal 48 ayat (1) Jo Pasal 32 ayat (1) UU ITE Jo Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena sebuah unggahan di akun Instagram @ayoberanileporkan6 yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang berinisial BA. AP dilaporkan dengan Nomor Laporan Polisi: LP/B/25/I/2024/SPKT/POLRESTA DENPASAR/POLDA BALI pada 21 Januari 2024 dan ditangkap saat tengah bersama anaknya di SPBU Jalan Transyogi Cibubur Jawa Barat pada 4 April 2024.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyatakan pihaknya melalui Biro Hukum dan Humas, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, dan Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak akan melakukan pendampingan yang sesuai dengan kebutuhan AP dan kedua anaknya.
Kemen PPPA hadir dan melakukan pendampingan terhadap AP dalam sidang gugatan praperadilan untuk memastikan implementasi Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang menjelaskan bahwa perempuan berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi, dan perempuan sebagai pihak (dalam perkara perdata).
“Perma ini memberikan panduan kepada hakim agar mampu memahami prinsip-prinsip mengadili perempuan berhadapan dengan hukum, mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 3. Selain itu, Perma ini juga bertujuan untuk mengisi kekosongan aturan yang harus dipedomani oleh hakim dalam mengadili perkara yang melibatkan perempuan berhadapan dengan hukum,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas Kemen PPPA, Margareth Robin Korwa.
Margareth menyebutkan, hakim harus memahami asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam penanganan kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum.
“Kami menilai, hakim tunggal yang melakukan pemeriksaan dan putusan permohonan praperadilan ini belum mempertimbangkan objek praperadilan yang dimohonkan dalam perkara ini, yaitu tidak sahnya penetapan tersangka dan tidak sahnya penangkapan, terlebih keberadaan praperadilan ini merupakan bentuk check and balance atau pengawasan terhadap proses penegakan hukum yang harus menjamin perlindungan hak asasi manusia. Praperadilan bukan menetapkan materi pokok (perkara) materil, tetapi hanya memeriksa prosedur yang telah dilakukan dalam proses penyidikan (formil),” tutur Margareth.
Menurut Margareth, penetapan AP sebagai tersangka cacat hukum karena Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak disampaikan kepada pemohon sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 130 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa tujuh hari sejak surat perintah penyidikan diterbitkan, SPDP harus disampaikan kepada pelapor, terlapor, dan jaksa. Sementara itu, AP yang ditetapkan sebagai tersangka tidak pernah menerima SPDP.
Selain itu, berdasarkan pasal 18 Hukum Acara Pidana (KUHAP), setiap penangkapan harus memperlihatkan surat perintah penangkapan yang tidak dilakukan oleh penyidik. “Berkaitan dengan hal tersebut, Kemen PPPA akan melaporkan hakim yang melakukan pemeriksaan dan putusan perkara ini kepada Mahkamah Agung karena telah membuat keputusan yang menyimpang secara fundamental sebagaimana diatur dalam Perma Nomor 4 Tahun 2016,” tegas Margareth.
Lebih lanjut, Margareth mengatakan, hakim juga tidak mempertimbangkan tata cara penanganan perempuan berhadapan dengan hukum sebagaimana diatur dalam Perma Nomor 3 Tahun 2017. “Kemen PPPA menghormati putusan praperadilan yang dibacakan hakim tunggal atas upaya hukum yang ditempuh AP terhadap Kepala Kepolisian Daerah Bali c.q. Kepala Kepolisian Resor Kota Denpasar. Pada dasarnya, putusan praperadilan tidak dapat diajukan banding ataupun peninjauan kembali. Hukum merupakan pilar keadilan yang mendasari peradaban. Keadilan bukanlah hanya ketika kita mengikuti hukum, tetapi juga melakukannya dengan benar. Tidak ada keadilan yang lebih besar daripada memberikan harapan kepada yang tidak berdaya, khususnya perempuan berhadapan hukum,” kata Margareth.
Dalam rangka pelindungan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan, khususnya perempuan barhadapan dengan hukum, Kemen PPPA melalui Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan akan terus melakukan pendampingan terhadap AP sebagai korban KDRT, baik itu dalam setiap proses hukum maupun psikologis oleh psikolog klinis untuk memotivasi AP, serta membekali AP dengan pengetahuan agar terhindar dari situasi stres akibat kekerasan. Pendampingan tersebut penting guna memastikan kondisi psikis dan memberikan penguatan mental untuk meminimalisasi trauma psikis perempuan korban sehingga dapat melangsungkan kehidupan selanjutnya secara normal juga dalam menghadapi proses hukum dan pengambilan keputusan.
“Negara menjamin secara konstitusional terhadap seluruh warga negara untuk mendapatkan perlindungan segara tindakan diskriminasi. Namun pada praktiknya, masih terdapat perlakuan diskriminasi dalam persidangan. Praperadilan merupakan forum perbaikan proses penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum agar dapat lebih menghormati hak asasi manusia dan memastikan akses keadilan bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum juga diamanatkan Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 35 dan menjadi salah satu Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs),” tutur Plt. Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kemen PPPA, Ratih Rachmawati.
Selain itu, Kemen PPPA juga akan memastikan perlindungan dan pemenuhan hak kedua anak AP. Plt. Asisten Deputi Pelayanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus Kemen PPPA, Atwirlany Ritonga mengatakan, anak pertama AP yang berusia 5 tahun mengalami speech delay dan kondisi psikisnya sedang membutuhkan perhatian khusus. Sementara, anak kedua AP yang berusia 1,5 tahun masih membutuhkan asupan air susu ibu (ASI).
“Kami akan mengupayakan AP tidak terpisah dari anak-anaknya untuk menghindari pelanggaran hak anak, serta meminimalisasi terjadinya trauma terhadap ibu dan anak,” pungkas Lany.
BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id
- 30-05-2024
- Kunjungan : 1097
-
Bagikan: