
Wamen PPPA : Narasi Publik tentang Isu Anak Harus Sangat Hati-Hati dan Pertimbangkan Perspektif Anak
Siaran Pers Nomor: B-454/SETMEN/HM.02.04/11/2025
Jakarta (19/11) – Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA), Veronica Tan memberi perhatian besar pada penyampaian informasi di media atau media sosial atas kasus kekerasan yang berkaitan dengan anak. Wamen PPPA menilai narasi publik atau cara berkomunikasi tentang isu anak harus sangat hati-hati, tidak sensasional, tidak membuka identitas, dan tidak memberi stigma.
"Kasus kekerasan yang berkaitan dengan anak, baik anak sebagai korban, pelaku, maupun saksi dapat viral hanya dalam hitungan menit di media massa maupun di media sosial. Narasi yang beredar dalam pemberitaan sudah tidak lagi berperspektif anak. Hal ini dapat menimbulkan risiko besar. Mulai dari dapat memicu stigma pada anak, membuka identitas anak, memperburuk trauma, hingga mengganggu proses pemulihan anak yang menjadi korban," tegas Wamen PPPA saat berbicara dalam Media Briefing bertema Media dan Ruang Publik Ramah Anak: Menakar Batas, Etika, dan Tanggung Jawab dalam Penyebaran Informasi di Kantor KPAI, Jakarta, pada Selasa (18/11).
Wamen PPPA menyatakan pers, pemerintah, sekolah, masyarakat memiliki tanggung jawab moral dan etik untuk memastikan bahwa narasi publik selalu berpihak pada kepentingan terbaik anak.
"Narasi publik atau cara berkomunikasi tentang isu anak harus sangat hati-hati agar tidak bias, berdasarkan etika, menjaga kepentingan terbaik anak, dan juga mencegah normalisasi kekerasan. Kita semua tidak ingin konten kekerasan yang melibatkan anak justru menimbulkan trauma. Pemberitaan yang sensasional dianggap berpotensi memicu copycat behavior (perilaku meniru) karena anak-anak melihat kekerasan sebagai sesuatu yang mendapat sorotan maupun pembenaran sosial," ujar Wamen PPPA.
Wamen PPPA menilai saat ini penting untuk memperkuat koordinasi kembali antar pemerintah, baik kementerian/lembaga, kepolisian, hingga pemerintah daerah, serta memastikan partisipasi aktif media.
"Koordinasi ini sangat penting untuk menciptakan narasi publik yang berpihak pada anak, dan tidak simpang siur. Dengan langkah bersama, respon terhadap kasus yang viral dapat dilakukan cepat dan terukur. Kalau bisa kita tingkatkan pedoman komunikasi publik berperspektif perlindungan anak sebagai acuan bersama bagi pemerintah, guru, masyarakat, sampai kepada media yang menyampaikan informasi terkait anak secara lebih komprehensif sesuai dengan perkembangan jaman,” ucap Wamen PPPA.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Margaret Aliyatul Maimunah menyampaikan bahwa pemberitaan terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) harus memperhatikan prinsip perlindungan agar anak. Ia menegaskan pentingnya menjaga kerahasiaan identitas anak, baik pelaku, korban, maupun saksi anak. Adapun panduan pemberitaan ABH mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 19.
“Identitas anak, baik pelaku, korban, maupun saksi wajib dirahasiakan sebagaimana diatur dalam UU SPPA Pasal 19. Larangan publikasi tersebut mencakup beberapa hal. Pertama adalah nama, yang kedua alamat yang ketiga wajah atau foto, yang keempat rekaman suara, yang kelima sekolah, yang keenam tempat tinggal, yang ketujuh atau hal lain yang mengarah pada pengungkapan identitas anak. Seperti yang tadi sudah disampaikan, ini kewajiban kita untuk merahasiakan atau melarang publikasi identitas anak,” ujar Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah.
Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Alexander Sabar turut menekankan pentingnya pengawasan ruang digital seiring meningkatnya keterpaparan anak terhadap internet dan konten berisiko. Dalam konteks perlindungan anak, regulasi seperti Peraturan Pemerintah 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) disusun bukan untuk membatasi akses anak pada teknologi, melainkan memastikan setiap aktivitas digital berlangsung aman melalui pengaturan produk, layanan, dan fitur digital sesuai usia, serta kewajiban penyelenggara sistem elektronik untuk memitigasi risiko seperti konten kekerasan, eksploitasi, dan ancaman terhadap data pribadi anak.
“Bicara ruang digital, menurut data Profil Anak Indonesia, terdapat 75 persen anak berusia 7 sampai 17 tahun itu sudah mengakses internet di tahun 2023. Sedangkan, dari laporan UNICEF menunjukkan bahwa sebagian besar anak menggunakan internet rata-rata 7 jam per hari. Sehingga, ada keperluan untuk melakukan filtering terhadap konten-konten yang ada di ruang digital. Pada dasarnya adalah sebagai safety measure untuk memastikan anak terlindungi di ruang digital. PP Tunas mengatur akuntabilitas PSE dan mendorong peran serta masyarakat dalam memastikan bahwa di ruang digital, setiap anak mendapatkan hak untuk dilindungi dari berbagai risiko yang berdampak buruk bagi kehidupan dan masa depan. Pengambilan kata Tunas ini karena kita mau memandang anak-anak sebagai tunas bangsa yang kedepan menjadi pemegang tongkat estafet keberlangsungan bangsa negara kita,” kata Alexander.
BIRO HUMAS DAN UMUM
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id
- 19-11-2025
- Kunjungan : 28
-
Bagikan: